JAKARTA - Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Januari 2021 mencapai 420,7 miliar dollar AS yang terdiri dari utang sektor publik yakni pemerintah dan bank sentral sebesar 213,6 miliar dollar AS dan utang sektor swasta, termasuk BUMN, yang mencapai 207,1 miliar dollar AS.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Erwin Haryono, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (15/3), mengatakan posisi ULN Indonesia pada akhir Januari 2021 tersebut tumbuh 2,6 persen dibanding Januari 2020 atau year on year (yoy), namun menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya 3,4 persen.
"Perlambatan pertumbuhan ini disebabkan oleh pembayaran pinjaman bilateral dan multilateral yang jatuh tempo," kata Erwin.
Sementara itu, posisi surat utang pemerintah masih meningkat seiring penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dalam denominasi dollar AS dan euro di awal tahun di tengah momentum likuiditas di pasar global yang cukup tinggi serta sentimen positif implementasi vaksinasi Covid-19 secara global," jelas Erwin.
Menanggapi utang yang terus meningkat, Pakar Ekonomi dari Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan porsi pembiayaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan menarik utang sebaiknya dikurangi karena Debt to Services Ratio (DSR) terus naik, sehingga utang luar negeri Indonesia berada pada level waspada.
"Alokasi utang pada saat pandemi juga sebagian besar untuk program mendorong konsumsi masyarakat, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), kartu sembako, kartu prakerja, dan kartu Indonesia pintar," kata Esther.
Sedangkan dari alokasi per sektor juga belum efektif. Bantuan ke sektor pendidikan misalnya, belum efektif karena masih dominan untuk membiayai kegiatan operasional, bukan untuk investasi sumber daya manusia (SDM), riset serta inovasi.
Padahal dibanding dengan negara lain, mereka bisa meningkatkan kualitas SDM dengan melakukan investasi di pendidikan berupa pemberian beasiswa, memperbesar dukungan untuk penelitian dan pengembangan. "Kondisi yang sama juga terlihat di sektor kesehatan," kata Esther.
Di tempat terpisah, Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, mengatakan dalam krisis akibat pandemi, kebutuhan berutang menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Namun, pemerintah diharapkan mewaspadai sejumlah potensi negatif dari kebijakan tersebut.
"Sandaran terhadap utang ini sekarang menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari, hampir semua negara yang terdampak Covid-19 mengalami peningkatan nilai utang. Hal yang perlu diperhatikan adalah warning Menkeu bahwa jangka pendek, bisa saja ada risiko asset bubble, price instability, commodity shock, debt crisis, dan risiko geopolitik," kata Bambang.
Harus Produktif
Sebelumnya, Pengamat Ekonomi, Bhima Yudhistira, mengatakan penarikan utang harus memperhatikan efektivitasnya karena pinjaman pada dasarnya harus produktif agar membantu menggerakkan perekonomian. Dengan demikian, bisa tercipta sumber penerimaan baru yang lebih besar untuk membayar kembali cicilan dan bunga utang.
Utang, jelas Bhima, seharusnya menjadi leverage bagi perekonomian, bukan malah menjadi biaya. n ers/SB/E-9