Pemerintah jangan terjebak pada rasio utang di bawah 60 persen sebab likuiditas domestik faktanya makin tergerus karena tersedot utang.

JAKARTA - Pemerintah perlu menahan diri dari keinginan menggali utang yang terus membengkak sampai saat ini. Praktik utang secara "ugal-ugalan" tanpa adanya jalan keluar untuk mengendalikannya dikhawatirkan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Tren utang pemerintah terus meningkat tiap tahunnya. Per akhir Januari lalu, nilai utang pemerintah mencapai 8.253,09 triliun rupiah.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan saat ini masing-masing warga negara menanggung beban utang pemerintah 30,5 juta rupiah. Sementara postur belanja pemerintah yang lebih ekspansif dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan meningkatkan beban utang per penduduk hingga 40 juta rupiah.

"Sekarang kita lihat realistis saja, rencana defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) akan dinaikkan pada 2025, sementara tahun ini pendapatan dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) diperkirakan tumbuh lebih rendah dibanding kenaikan utang. PNBP jelas merosot karena terlalu bergantung pada swing harga komoditas, nikel karena oversupply juga anjlok harganya," ucap Bhima kepada Koran Jakarta, Senin (4/3).

Dia memaparkan negara tujuan ekspor sedang melemah permintaannya. Belanja negara untuk proyek infrastruktur sangat agresif ditambah beban BUMN karya yang sebagian utangnya ditanggung negara.

"Praktik utang 'ugal-ugalan' tanpa solusi untuk mengerem utang bakal menghambat pertumbuhan ekonomi. Jadi, jangan terjebak pada rasio utang di bawah 60 persen, likuiditas domestik faktanya makin tergerus karena tersedot utang," tegas Bhima.

Senada, peneliti ekonomi Celios, Nailul Huda, mengatakan utang ini perlu disikapi sangat serius karena sudah meningkat cukup tajam dengan indikator yang sudah lampu kuning. Debt to service ratio Indonesia yang rentan meningkat akibat pelemahan kinerja ekspor.

"Artinya, kemampuan pembayaran utang pemerintah bisa jadi melemah ke depannya," ungkap Huda.

Huda menambahkan pembayaran utang dan pokok yang membebani keuangan negara, mengingat kemampuan perpajakan nasional stagnan. Tax ratio saat ini stagnan di angka 10 persen. Bahkan, angka tax ratio pada 2023 lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. "Beban bagi APBN semakin besar,"ujar Huda.

Beban Meningkat

Lebih lanjut, Huda mengatakan yield utang pemerintah semakin tinggi. Di sisi lain, investor sekarang tertarik ke tenor jangka pendek.

"Artinya, beban pemerintah dari SUN akan semakin meningkat dan pembayaran akan semakin singkat," terang Huda.

Seperti diketahui, posisi utang pemerintah pada akhir Januari 2024 kembali naik mencapai 8.253,09 triliun rupiah. Berdasarkan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kita, secara nominal, posisi utang pemerintah tersebut bertambah 108,4 triliun rupiah atau meningkat 1,33 persen dibandingkan dengan posisi utang pada akhir Desember 2023 yang tercatat sebesar 8.144,69 triliun rupiah. Dengan demikian, maka rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,75 persen.

Utang pemerintah didominasi oleh instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang kontribusinya 88,19 persen. Hingga akhir Januari 2024, penerbitan SBN tercatat sebesar 7.278,03 triliun rupiah.

Penerbitan itu terbagi menjadi SBN domestik dan SBN valuta asing (valas). SBN Domestik tercatat 5.873,38 triliun rupiah, sedangkan SBN valas tercatat sebesar 1.404,65 triliun rupiah.

Baca Juga: