Kewajiban utang jatuh tempo besar, tapi target penerimaan negara sulit tercapai.

Pahami risiko utang, jangan mewariskan beban berat untuk generasi mendatang.

JAKARTA - Pemerintah diharapkan lebih berhati-hati dalam mengelola utang mengingat ada potensi membengkaknya penarikan utang pada tahun depan. Dalam RAPBN 2018, penarikan utang baru ditargetkan sebesar 399,2 triliun rupiah, atau terkesan lebih kecil dibandingkan dengan penambahan utang baru dalam APBNP 2017 yang mencapai 461,3 triliun rupiah.

Akan tetapi, diperkirakan terjadi penambahan target utang baru pada paro kedua 2018 karena ada kewajiban utang jatuh tempo tahun depan sekitar 390 triliun rupiah.

"Namun, melihat adanya pembayaran utang jatuh tempo di 2018 tersebut, tampaknya akan ada peningkatan utang secara ekspansif di semester II- 2018. Itu yang perlu dicermati," kata ekonom Indef, Bhima Yudhistira, di Jakarta, Jumat (18/8).

Menurut Bhima, salah satu alasan pemerintah harus menarik utang baru melebihi target tahun depan itu lantaran kinerja yang buruk dalam menggali sumber-sumber pendapatan negara sehingga target penerimaan tidak tercapai.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga terbukti tidak mampu menarik swasta untuk berinvestasi di sektor infrastruktur sehingga opsi pembiayaan sektor itu hanya menambah utang. Padahal, saat ini posisi utang pemerintah mencapai hampir 4.000 triliun rupiah.

Guna menarik minat investasi swasta yang lebih banyak, kata Bhima, pemerintah semestinya menyiapkan dukungan, misalnya segera membuat bank tanah. Sebab, selama ini swasta terkendala pembebasan lahan yang mahal.

Namun, pemerintah terbiasa mengambil jalan pintas dengan menarik utang. Padahal, menurut Bhima, pemerintah sebenarnya tidak perlu terlalu agresif membangun infrastruktur jika pada akhirnya harus menambah lebih banyak utang.

"Pemerintah pastinya juga paham bahwa risiko utang saat ini akan dibebankan ke tahuntahun mendatang. Ini yang disebut sebagai mewariskan utang," kata dia. Terkait dengan penerimaan pajak,

ekonom senior Faisal Basri menilai tahun ini cukup besar kemungkinan target pajak kembali tidak tercapai sekalipun APBN-P 2017 sudah memangkas 71 triliun rupiah dari yang tertera di APBN 2017 menjadi 1.283 triliun rupiah.

"Kalau itu terjadi, pemerintah bakal repot karena defisit sudah mendekati batas 3 persen yang ditetapkan Undang- Undang Keuangan Negara," papar dia. Dalam Outlook 2017, pemerintah menargetkan defisit anggaran 2,67 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Faisal menambahkan, mencermati realisasi penerimaan pajak hingga Juli 2017 yang sebesar 46,8 persen dari target atau 601 triliun rupiah, ada kemungkinan shortfall sekitar 50 triliun sampai 70 triliun rupiah.

Mengingat defisit tidak boleh di atas 3 persen maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah, kecuali memotong pengeluaran, termasuk belanja modal, juga belanja infrastruktur.

"Pemotongan tidak akan terlalu menggganggu keberlanjutan pembangunan infrastruktur karena sebatas menunda satu sampai dua tahun saja. Stabilitas makroekonomi jauh lebih strategis ketimbang dampak penundaan pembangunan infrastruktur," ujar dia.

Ubah Orientasi

Aktivis Koalisi Anti Utang, Dani Setiawan, mengatakan selama orientasi pembangunan selalu mengejar target pertumbuhan ekonomi maka pembiayaan utang baik pinjaman luar negeri maupun penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) akan terus meningkat.

"Pemerintah pasti butuh modal, sementara penerimaan nggak cukup. Maka utang jadi andalan," kata dia. Oleh karena itu, menurut Dani, pemerintah perlu menggeser orientasi pembangunan sehingga tidak lagi bergantung utang.

Dia menyebutkan banyak jenis kegiatan yang bisa dilakukan pemerintah, bisa jadi bukan membangun infrastruktur besar, tetapi kegiatan yang langsung bisa dirasakan oleh masyarakat.

"Misalnya, membangun sektor pertanian, membangun sektor perdesaan. Biayanya nggak terlalu besar, tapi manfaat langsungnya bisa dinikmati oleh masyarakat," papar dia.

Pemerintah, lanjut Dani, seharusnya berpikir konvensional dengan berkomitmen pada penyelesaian ketimpangan, pada saat bersamaan satu jalan dengan kemandirian ekonomi. Sebagai bukti, dia menunjukkan hasil pembangunan yang tidak berorientasi pada penyelesaian masalah.

"Utang makin besar, tetapi kesenjangan dalam berbagai hal, seperti pendapatan, kepemilihan lahan makin parah." Sebelumnya dikabarkan, utang pemerintah yang terus meningkat membuat pembayaran bunga utang terus merongrong APBN. Dalam RAPBN 2018, pembayaran bunga utang direncanakan 247,6 triliun rupiah atau lebih dari 11 persen APBN. ahm/YK/WP

Baca Juga: