Dengan menggunakan serat yang tertanam dengan sensor dan sumber cahaya untuk stimulasi optogenetik. Teknologi tersebut telah didemonstrasikan pada tikus, di mana manipulasi sel di usus menyebabkan perasaan kenyang atau perilaku mencari hadiah.

Dengan menggunakan serat yang tertanam dengan sensor dan sumber cahaya untuk stimulasi optogenetik. Teknologi tersebut telah didemonstrasikan pada tikus, di mana manipulasi sel di usus menyebabkan perasaan kenyang atau perilaku mencari hadiah.

"Ini membuka kemungkinan baru untuk mengeksplorasi hubungan antara kesehatan pencernaan dan kondisi neurologis seperti autisme dan penyakit Parkinson," kata Polina Anikeeva, Direktur Asosiasi Laboratorium Riset Elektronik MIT, dan anggota Institut Riset Otak McGovern MIT, dikutip laman Scitech Daily.

Antarmuka elektronik yang dirancang peneliti terdiri dari serat fleksibel yang dapat menjalankan berbagai fungsi dan dapat dimasukkan ke dalam organ yang diinginkan. Dengan antarmuka ini, para peneliti melakukan serangkaian percobaan untuk menunjukkan bahwa mereka dapat mempengaruhi perilaku melalui manipulasi usus serta otak.

Pertama, mereka menggunakan serat untuk mengirimkan stimulasi optogenetik ke bagian otak yang disebut ventral tegmental area (VTA), yang melepaskan dopamin. Mereka menempatkan tikus di dalam kandang dengan tiga ruang, dan ketika tikus memasuki satu ruang tertentu, para peneliti mengaktifkan neuron dopamin.

Dopamin adalah zat kimia di dalam otak yang bisa meningkat kadarnya saat seseorang mengalami sensasi yang menyenangkan. "Ledakan dopamin yang dihasilkan membuat tikus lebih mungkin kembali ke ruangan itu untuk mencari hadiah dopamin," kata dia.

Kemudian, para peneliti mencoba untuk melihat apakah mereka juga dapat mendorong perilaku mencari hadiah dengan memengaruhi usus. Untuk melakukan itu, mereka menggunakan serat di usus untuk melepaskan sukrosa, yang juga mengaktifkan pelepasan dopamin di otak dan mendorong hewan untuk mencari ruangan tempat sukrosa dikirim.

Selanjutnya, bekerja dengan rekan-rekan dari Universitas Duke, para peneliti menemukan bahwa mereka dapat menginduksi perilaku mencari hadiah yang sama. Caranya dengan melewatkan sukrosa dan ujung saraf yang merangsang secara optogenetik di usus yang memberi masukan ke saraf vagus, yang mengontrol pencernaan dan fungsi tubuh lainnya.

"Sekali lagi, kami mendapatkan perilaku preferensi tempat yang sebelumnya dilihat orang dengan rangsangan di otak, tetapi sekarang kami tidak menyentuh otak. Kami hanya menstimulasi usus, dan kami mengamati kontrol fungsi pusat dari pinggiran," kata kata mahasiswa pasca doktoral Universitas Duke, Laura Rupprecht.

Penulis utama makalah ini adalah mahasiswa pascasarjana MIT Atharva Sahasrabudhe, bekerja sama dengan Rupprecht, seorang mahasiswa pasca doktoral di kelompok profesor Diego Bohorquez di Duke, untuk menguji kemampuan serat untuk mengontrol perilaku makan.

Mereka menemukan bahwa alat tersebut dapat secara optogenetik merangsang sel yang menghasilkan cholecystokinin, hormon yang meningkatkan rasa kenyang. Ketika pelepasan hormon ini diaktifkan, nafsu makan hewan ditekan, meskipun mereka telah berpuasa selama beberapa jam.

Para peneliti juga menunjukkan efek yang sama ketika mereka merangsang sel yang menghasilkan peptida yang disebut PYY. Peptida ini biasanya mengekang nafsu makan setelah mengkonsumsi makanan yang sangat kaya gizi.

Para peneliti saat ini berencana menggunakan antarmuka ini untuk mempelajari kondisi neurologis yang diyakini memiliki koneksi usus-otak. Misalnya, penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak autis jauh lebih mungkin didiagnosis dengan disfungsi gastrointestinal daripada anak-anak normal sebaya, sementara kecemasan dan sindrom iritasi usus berbagi risiko genetik. Gastrointestinal atau gangguan fungsi kontraksi sistem pencernaan dapat berupa kontraksi yang melemah atau justru meningkat. hay/I-1

Baca Juga: