oleh ronny p sasmita

Ekspor barang dan jasa tahun lalu mencapai 3.110 triliun rupiah. Angka ini lebih rendah dari impor barang dan jasa 3.272 triliun rupiah. Maka, perdagangan barang dan jasa pada 2018 pun minus, sehingga menjadi komponen penekan PDB secara keseluruhan. Hal ini sebenarnya bukan pertama kali.

Untuk kategori barang, setidaknya sejak 2012, Indonesia sudah menjadi net importir sejumlah barang yang menjadi hajat hidup orang banyak. Salah satunya minyak. Kondisi tersebut diperparah berakhirnya era booming komoditas, sehingga menekan nilai ekspor secara keseluruhan.

Besarnya kebutuhan minyak membuat negara ini harus membayar impor 29,8 miliar dollar AS pada 2018, sedangkan nilai ekspor hanya 17,4 miliar dollar AS. Jadi, neraca migas mencatatkan defisit 12,4 miliar dollar AS. Di sisi lain, defisit perdagangan barang membengkak karena surplus barang-barang nonmigas menyusut akibat melesatnya nilai impor tidak diimbangi ekspor yang kuat.

Total impor nonmigas meningkat 19,71 persen menjadi 158,8 miliar dollar AS. Sementara ekspornya hanya tumbuh 6,25 persen menjadi 162,6 miliar dollar AS. Tak hanya sampai di situ, sektor jasa juga defisit sebesar 7,1 miliar dollar AS. Merujuk pada data Bank Indonesia, impor jasa tercatat 35 miliar dollar AS, sedangkan ekspor hanya membukukan nilai 27,9 miliar dollar AS.

Secara keseluruhan, kondisi tersebut tergambar pada neraca transaksi berjalan (current account) yang menghimpun seluruh transaksi perdagangan luar negeri suatu negara, di antaranya ekspor serta impor barang dan jasa. Transaksi berjalan tahun lalu defisit 31,1 miliar dollar AS atau sekitar 450 triliun rupiah atau 2,9 persen terhadap PDB

Secara nominal, defisit transaksi berjalan tahun 2018 terbesar dalam beberapa dekade terakhir. Sedangkan berdasarkan besaran rasio terhadap PDB, defisit transaksi berjalan 2018 juga terburuk selama empat tahun terakhir. Mengapa defisit barang dan jasa terjadi menahun sehingga menekan kinerja ekonomi Indonesia? Jika ditelisik mendalam, penyebabnya struktur ekonomi nasional yang tidak cukup mewadahi dan menumbuhkan sektor usaha penghasil barang ekspor.

Secara umum, sektor lapangan usaha dalam ekonomi Indonesia dibagi menjadi 17 sektor yang terdiri atas tiga sektor penghasil barang dan 14 sektor jasa. Nah, pada 2018, tiga sektor tersebut justru tumbuh di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Pertumbuhan tiap sektor tersebut: pertanian (3,91 persen), pertambangan (2,16 persen), dan industri pengolahan atau manufaktur (4,27 persen). Padahal, ketiga sektor itu masih menjadi tulang punggung ekonomi dengan kontribusi 40,75 persen.

Sementara itu, sektor lain yang justru tumbuh cepat melebihi rata-rata adalah jasa seperti telekomunikasi dan transportasi. Bahkan, pertumbuhan sektor jasa mencapai dua kali lipat dari pertumbuhan barang. Padahal sudah sejak lama Indonesia defisit sektor jasa. Jadi secara umum, memang struktur pertumbuhan ekonomi saat ini tidak produktif dan tidak mendukung untuk peningkatan ekspor secara keseluruhan.

Lihat saja, bila ditelusuri lebih dalam ketiga sektor produktif tersebut, industri manufaktur memiliki peranan paling besar. Sampai tahun 2018, kontribusi manufaktur mencapai 19,86 persen. Dia terbesar di antara 16 sektor lainnya. Namun, jika melihat tren, kontribusi manufaktur terus menurun. Kontribusi terbesar yang pernah ditorehkan manufaktur sebesar 31,9 persen pada tahun 2002.

Sejak itu, manufaktur hanya mampu menyumbang rata-rata 20 persen terhadap PDB karena terus menurun sejalan dengan kelambatan pertumbuhannya. Dengan kontribusi yang besar, manufaktur tumbuh di bawah rata-rata. Sejatinya, kondisi semacam ini sudah mulai tahun 2005 saat ekonomi nasional bertumbuh 6,01 persen. Padahal, tahun sebelumnya, manufaktur mampu tumbuh 6,38 persen saat ekonomi mencapai 5,03 persen. Sejak itu, tren pertumbuhan manufaktur selalu di bawah rata-rata hingga kini.

Lebih Kecil

Secara komparatif, manufaktur Indonesia juga memiliki porsi kecil di kawasan Asia Tenggara. Bank Dunia merilis, tahun 2017 Malaysia dan Thailand memiliki porsi 22 persen dan 27 persen terhadap PDB. Memang, Indonesia masih lebih unggul dari Filipina dan Vietnam yang mencatatkan 19,6 persen dan 15,3 persen.

Jadi, ke depan, harus prioritas memperbaiki sektor industri manufaktur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sebab dengan porsi yang masih dominan, memacu sektor manufaktur diperkirakan dapat memberi kontribusi signifikan terhadap ekonomi. Tentu juga perlu tetap menjaga daya beli pada sektor konsumsi.

Selain itu, pengembangan manufaktur sebagai penghasil komoditas ekspor dinilai menjadi salah satu solusi terhadap ketergantungan pada komoditas yang harganya berfluktuasi. Hanya, peningkatan manufaktur tidak bisa dilakukan instan, dibutuhkan waktu panjang untuk memperbaiki secara mendasar. Memang, dalam rangka menekan CAD, sejak tahun lalu, pemerintah getol mendorong industri meningkatkan penggunaan komponen lokal, meningkatkan PPh impor atau menggencarkan penggunaan B20.

Bahkan, pemerintah rela mengerem laju pembangunan proyek konstruksi yang merupakan program utama Jokowi-Jusuf Kalla demi menekan impor. Sebab, sebagian besar bahan baku proyek infrastruktur masih menggunakan komponen impor. Dalam jangka pendek, upaya-upaya menekan impor dan meningkatkan produk substitusi dalam negeri memang berhasil.

Hal itu terlihat dari penurunan impor pada Januari 2019 sebesar 2,19 persen secara bulanan menjadi 15 miliar dollar AS. Sayangnya, kendati impor turun, ekspor juga terpukul akibat perang dagang AS-Tiongkok, sehingga defisit neraca dagang tetap lebar. Bahkan sampai awal tahun ini, BPS mencatat ekspor Januari turun 3,24 persen secara bulanan menjadi 13,87 miliar dollar AS.

Dengan kata lain, langkah pemerintah masih dalam batas kebijakan reaktif jangka pendek, belum kebijakan fundamental untuk memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi. Padahal, pengembangan dan pengarusutamaan manufaktur menjadi jawaban banyak masalah. Di satu sisi sebagai solusi memperbaiki kinerja ekspor, neraca dagang, dan transaksi berjalan. Hal itu juga sebagai solusi jangka panjang untuk menghadapi era bonus demografi atau ledakan tenaga kerja produktif.

Kementerian Perindustrian tahun ini akan lebih menggenjot lima sektor industri manufaktur untuk meningkatkan ekspor: makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronika, dan kimia. Ini untuk memaju kinerja ekspor kelima bidang tersebut. Penulis Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri Nasional

Baca Juga: