Judul : Geliat Gerakan Literasi Sekolah

Penulis : Banyak

Penerbit : Lovrinz Publishing

Cetakan : Juli 2017

Tebal : xiv + 392 halaman

ISBN : 978-602- 6652-86-7

Terungkapanya sindikat penebar hoax, Saracen, yang sudah beroperasi sejak tahun 2015, merupakan langkah produktif untuk mengurangi laju fitnah dan ujaran kebencian yang sangat berdampak pada perpecahan kesatuan bangsa. Kemungkinan akan masih ada pelaku yang menebarkan hoax selama kecerdasan masyarakat masih rendah membaca informasi. Sangat benar perkataan Rocky Gerung, seorang pengamat politik, cara paling efektif yang harus dilakukan pemerintah saat ini untuk membendung kelompok penebar hoax, meningkatkan budaya membaca.

Budaya baca masyarakat memang sangat lemah. Ini bisa diukur dari sekolah di mana membaca merupakan harusnya wajib. Namun, berdasarkan penelitian Program for Internasional Student Assesment (PISA) tahun 2012, daya literasi siswa Indonesia menduduki peringkat 64 dari 65 negara yang diteliti. Tahun 2015, PISA mengadakan penelitian serupa dan Indonesia berada pada peringkat 69 dari 76 negara (hlm 15).

Pemerintah mengeluarkan Permendikbud Nomor 28 Tahun 2016 tentang Literasi di Sekolah. Kegiatan inti literasi adalah membaca dan menulis. Menurut UNESCO, literasi pada tahap perkembangan berkaitan dengan kecerdasan berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga terkait dengan pengetahuan sosial dalam ranah bahasa dan budaya. Kecerdasan literasi ini diarahkan agar setiap orang bisa bisa memahami validitas pesan linguistik yang disampaikan sekaligus ragam budaya yang meliputinya (hlm 50).

Guru merupakan sosok penting dalam menyukseskan literasi sekolah. Sebagus apa pun sistem, materi, dan fasilitas literasi, bila tidak dirancang secara profesional oleh guru, tidak akan bekerja secara maksimal. Guru merupakan sentra pendidikan sekolah di mana siswa menjadi replika yang paling sempurna.

Yang harus dilakukan guru pertama-tama memberi teladan. "Untuk menumbuhkan budaya membaca siswa, caranya dengan menunjukkan kepada mereka bahwa guru memang hobi dan gemar membaca," kata Non Syafriadi, salah satu penulis buku ini (hlm 13). Ini bisa ditunjukkan dengan sering ke perpustakaan dan membaca buku di waktu senggang. Dia terinspirasi ketika menjadi mahasiswa. Dia terdorong membaca buku karena melihat dosennya sering membaca buku dan tidak segan-segan duduk bersama mahasiswanya di perpustakaan.

Agus Rugito, menerapkan teknik Bapor Komugi di sekolah. Bapor Komugi singkatan dari membaca, melaporkan, mengomunikasikan, dan menghargai. Pada tahap membaca, siswa diberi watu 15 menit setiap hari sebelum mulai kegiatan pembelajaran. Setelah membaca, siswa melaporkan judul buku, penulis, dan halaman buku yang dibaca dengan menuliskan pada sebuah kartu.

Hasil bacaannya dikomunikasikan lewat menceritakan dan menulis ulang. Kemudian, tulisannya ditempel di majalah dinding sekolah. Sekolah memberi apresiasi secara keseluruhan terhadap hasil bacaan dan secara berkala memberi hadiah kepada beberapa siswa terpilih (hlm 260-266).

Habibatun merasakan betul peningkatan kecerdasan siswanya setelah literasi ini. Tidak hanya cerdas membaca buku, tapi juga berkomunikasi. Tidak hanya meningkatkan daya prestasi mata pelajaran, namun juga menaikkan wawasan secara umum tentang perkembangan pengetahuan. Bahkan membaca menjadi hiburan. Dia bersemangat menerapkan kegiatan literasi karena meyakini ucapan Ralph Besse dalam buku The Philosophy of Reading, "Membaca adalah sumber belajar paling lengkap, paling murah, dan paling cepat. Ia merupakan tata cara latihan pribadi yang terus menerus untuk pengembangan diri (hlm 318)."

Diresensi Ahmad Hasinul Ansor, Alumnus Universitas Islam Jember

Baca Juga: