» Emisi gas rumah kaca dari batu bara diproyeksikan meningkat 34,5 persen pada tahun 2030.

» Perlu langkah-langkah transisi yang lebih serius untuk mengejar penggunaan energi bersih.

JAKARTA - Komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi karbon guna mencegah dampak negatif dari perubahan iklim perlu aksi nyata. Aksi nyata tersebut harus ditunjukkan melalui berbagai kebijakan dan program yang betul-betul berjalan di lapangan.

Peneliti Keuangan Iklim dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Siti Shara, mengatakan aksi nyata dan ambisius diperlukan untuk mengurangi emisi di semua sektor, terutama dengan memensiunkan secara dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara. Sebab, emisi gas rumah kaca paling banyak dihasilkan dari pembakaran batu bara.

Pembakaran batu bara, jelas Siti, bertanggung jawab atas 46 persen emisi karbon di seluruh dunia. Sedangkan batu bara saat ini, masih menjadi sumber energi utama bagi Indonesia dan bahkan, emisi gas rumah kaca (GRK) dari batu bara diproyeksikan meningkat 34,5 persen pada tahun 2030.

"Tentu ini akan menghambat upaya Indonesia dalam mencapai komitmen yang telah dibuat," tuturnya.

Untuk menurunkan emisi GRK, Indonesia harus melepas kebergantungan terhadap batu bara dan mengembangkan investasi serta teknologi pada energi terbarukan yang berkelanjutan dan terjangkau.

Sejumlah perbankan maupun lembaga pendanaan masih mendukung dan terlibat dalam proyek berbasis batu bara. Bank-bank di Indonesia harus mengurangi pendanaan pada sektor tambang batu bara dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

"Green bond yang diterbitkan bank dan pemerintah tidak mencapai tujuan pengurangan emisi yang dibutuhkan jika pada saat yang sama masih mendanai bisnis batu bara," kata Siti.

Dia berharap pemerintah tidak memperpanjang izin usaha pertambangan batu bara yang wilayahnya berada di sekitar kawasan konservasi yang kaya akan sumber keanekaragaman hayati. Sebab, aktivitas pertambangan dapat mengganggu kemampuan daya serap karbon sebagai akibat dari degradasi ekosistem yang terjadi.

"Diperlukan kebijakan-kebijakan yang mendukung perkembangan bisnis energi terbarukan dan sikap tegas pemerintah untuk meninggalkan sumber energi kotor," tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan pentingnya menjaga kesadaran terhadap dampak negatif perubahan iklim agar target pada Perjanjian Paris dapat tercapai dan tidak mempengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB).

"Kesadaran terhadap dampak negatif perubahan iklim harus terus dijaga. Kita komitmen untuk menurunkan 29 persen di tahun 2030 sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional," kata Airlangga dalam Green Economy Indonesia Summit 2022 : "The Future Economy of Indonesia" yang dilangsungkan secara daring di Jakarta, Rabu (11/5).

Transisi ke EBT

Pengamat energi dari Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya, Yatim Lailun Nikmah, mengatakan berkaca dari ancaman krisis energi yang semakin nyata akibat konflik di Ukraina maka dunia sudah selayaknya lebih serius melakukan transisi menuju pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).

"Perlu lebih serius melakukan langkah-langkah transisi untuk mengejar penggunaan energi bersih ini. Apalagi dengan berbagai konflik dunia yang mengancam distribusi energi, idealnya setiap negara memang harus punya kemandirian energi untuk mengamankan kebutuhan pasokannya sendiri," kata Yatim.

Sementara itu, peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam, mengatakan dunia menunggu komitmen Indonesia untuk mendukung terciptanya world sustanaibilty green economy.

Negara-negara di dunia, jelasnya, sangat berkepentingan dengan ekonomi hijau di Indonesia. Komitmen Indonesia selalu ditunggu oleh masyarakat internasional untuk mendukung terciptanya world sustanaibilty green economy. Policy ini memang tidak boleh sekadar lips service, tetapi memang harus riil dan ada progress karena dukungan finansial dari masyarakat internasional terhadap Indonesia juga signifikan.

"Kita jelas akan mendapat banyak keuntungan dari kerja visioner ini khususnya untuk masa depan ekonomi bangsa yang berkelanjutan, bukan sesaat. Semakin serius pemerintah mewujudkan komitmen itu, semakin berdampak pada penguatan ekonomi nasional Indonesia," kata Surokim.

Baca Juga: