JAKARTA - Program biodiesel yang dicanangkan pemerintah menjadi salah satu solusi strategis mencapai ketahanan energi, sekaligus menurunkan kebergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, agar visi ini benar-benar terwujud, keterlibatan petani sawit swadaya perlu diprioritaskan.
Sebagai pemain penting dalam rantai pasok kelapa sawit, para petani ini berperan penting. Tercatat, pentingnya keterlibatan petani swadaya dalam program biodiesel demi keberlanjutan. Pemerintah harus segera mengatur pola kemitraan yang menguntungkan semua pihak, baik perusahaan maupun petani.
Sabarudin, Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengungkapkan program biodiesel yang diluncurkan pada 2015 oleh Presiden Joko Widodo belum sepenuhnya berdampak positif bagi petani kelapa sawit. Meskipun tujuan awal program ini adalah untuk kesejahteraan petani melalui kemitraan dengan perusahaan pemilik biodiesel, hingga saat ini, kemitraan tersebut belum terealisasi secara merata.
"Program biodiesel ini sudah berjalan cukup lama sejak 2015, namun kemitraan antara petani dan perusahaan biodiesel masih jauh dari harapan. Kami melakukan riset kecil di Riau, yang merupakan daerah dengan industri biodiesel di lima kabupaten, namun kenyataannya petani di sana belum menikmati hasil dari kemitraan tersebut. Petani masih menjual sawit mereka melalui tengkulak, bukan langsung ke perusahaan biodiesel," ujar Sabarudin dalam diskusi tentang keberlanjutan biodiesel bertema Mewujudkan Kemitraan Petani dan Industri Biodiesel dalam Pengembangan Biodiesel Sawit untuk Kesejahteraan Petani Sawit di Jakarta, Kamis (24/10/2024).
Sebab itu, SPKS menekankan pentingnya adanya peraturan yang mewajibkan perusahaan biodiesel bermitra dengan petani, terutama di wilayah konsesi perusahaan. Sabarudin menyatakan bahwa SPKS terus mendorong agar pengembangan biodiesel memberikan dampak nyata bagi masyarakat, terutama dalam hal peningkatan produktivitas.
Ahmad Kailani, Ketua Umum Perisai Prabowo, menegaskan komitmennya untuk mengawasi dan memastikan kebijakan biodiesel, khususnya campuran biodiesel 50 persen (B50), berjalan sesuai dengan kepentingan petani. Dalam pernyataannya, ia menekankan pentingnya keterlibatan aktif dalam pengawasan kebijakan pemerintah terkait biodiesel, terutama yang berdampak langsung pada petani sawit.
Edi Wibowo, Direktur Bioenergi di Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, mengutarakan pentingnya pengembangan biodiesel yang berkelanjutan, termasuk rencana menuju implementasi B100 di masa depan. Program biodiesel 100 persen (B100) yang berbahan baku minyak sawit mentah (CPO) masih dalam tahap penelitian, dan karakteristik bahan bakar ini diharapkan lebih baik dibandingkan alternatif yang ada saat ini.
"Kita sedang mempersiapkan B100, namun masih dalam tahap penelitian untuk memastikan kestabilan dan efisiensinya. Karakter biodiesel dari sawit bisa lebih unggul, namun ada beberapa tantangan teknis yang perlu diatasi sebelum bisa mencapai komersialisasi penuh," ujar Edi.
Mula Putra, Koordinator Kelembagaan Direktorat Tanaman Sawit dan Aneka Palma di Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, mengungkapkan bahwa kondisi perkebunan sawit saat ini diwarnai oleh berbagai permasalahan, termasuk penurunan produktivitas dan serangan penyakit.
"Seiring bertambahnya usia tanaman, lahan dan tanaman sawit mulai terkontaminasi oleh berbagai penyakit seperti Penyakit Akar (Blas Disease), Busuk Pangkal Batang (Bud Rot Syndrome), Ganoderma, serta Fusarium Oxysporum yang menyebabkan garis kuning pada daun," ungkap Mula Putra.