Jakarta kembali dilanda aksi unjuk rasa. Ada sejumlah tempat yang menjadi konsentrasi massa, seperti Petamburan, Bawaslu, dan KPU. Menurut Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, ada massa bayaran dalam demo dua hari belakangan. Bahkan, dia menginformasikan menemukan uang dengan jumlah total enam juta rupiah dari para provokator yang ditangkap. Mereka ditangkap karena telah beraksi anarkis di depan Gedung Bawaslu dan Asrama Brimob Petamburan.

Kapolri mengatakan anak-anak muda demonstran itu mengaku dibayar. Sebelum disampaikan Kapolri, Kadiv Humas Polri, Irjen M Iqbal, juga sudah merilis bahwa kericuhan yang terjadi setelah pembubaran aksi demonstrasi di depan Gedung Bawaslu dipicu massa bayaran. Sejumlah amplop berisi uang pun ditemukan dari massa yang diamankan. Ada juga massa yang masih menyimpan amplop. Uangnya masih ada.

Yang lebih mengerikan, Polri juga mengungkapkan adanya dugaan keterlibatan partai politik karena ada ambulans berlogo parpol tertentu yang di dalamnya penuh batu dan alat-alat di dekat lokasi demonstrasi. Polisi masih terus menyelidiki mencari aktor intelektual di balik ambulans penuh batu tersebut.

Bentrok massa dengan aparat tak pelak mengakibatkan ratusan korban luka, dan menurut Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, ada enam korban meninggal. Aparat mendeteksi, dari interogasi massa yang ditangkap, kebanyakan berasal dari luar Jakarta. Mereka berasal dari Jabar, Jateng, dan Banten. Ada setting-an kerusuhan yang dibuat massa pada Rabu (22/5) dini hari. "Peristiwa dini hari itu bukan massa spontan, tapi peristiwa by designed," kata Iqbal.

Semua pihak menyesalkan aksi anarkis para pengunjuk rasa. Sesungguhnya ada pertanyaan yang penting terkait demo. Untuk apa sebenarnya unjuk rasa? Apakah menolak hasil pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) di mana capres-cawapres 01 mengungguli capres-cawapres 02? Apakah dengan unjuk rasa KPU akan mengubah hasil? Tentu tidak!

Komisioner KPU, Viryan Azis, menegaskan bahwa unjuk rasa masyarakat pascapenetapan hasil pemilu mungkin bermaksud mencari keadilan. Namun demikian, Viryan menilai keadilan pemilu tidak akan didapat melalui aksi-aksi jalanan. Hukum telah memberi saluran mereka yang tidak terima hasil pemilu dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Jadi, unjuk rasa adalah aksi sia-sia, kecuali kalau itu di-setting untuk membuat kerusuhan. Mereka telah berhasil membuat kerusuhan yang mengakibatkan kerugian masyarakat yang mobilnya dibakar, rumahnya terlempar batu, dan malah korban dari pihak pengunjuk rasa sendiri.

Inilah mungkin buah dari pernyataan-pernyataan para elite sebelum pengumuman KPU atas hasil Pilpres 2019. Misalnya, mulai dari tidak mau menandatangani hasil penetapan KPU, tidak mau ke saluran hukum Mahkamah Konstitusi. Tuduhan-tuduhan KPU curang. Semua itu tentu telah membuat suasana yang tidak baik di tengah masyarakat.

Kita memang perlu kedewasaan dalam berdemokrasi. Dalam setiap kontestasi selalu ada yang menang dan kalah. Elite-elite harus memberi contoh gentleman dalam berdemokrasi. Elite-elite yang kesatria menyikapi hasil kontestasi akan berdampak ketenangan kepada pengikut. Sebaliknya, elite-elite yang tidak kesatria akan berpengaruh buruk pada pengikut.

Kini menjadi tugas aparat untuk mencari dalang di belakang kerusuhan. Aparat harus dapat menemukan aktor intelektualnya. Mereka harus diberi hukum yang keras agar menjadi pelajaran. Tidak ada tempat bagi pemecah-belah bangsa.

Baca Juga: