JAKARTA - Banyak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di dalam negeri memiliki keterbatasan untuk mengakses layanan jasa keuangan di tengah meningkatnya kebutuhan akses terhadap modal usaha. Kondisi tersebut menjadi salah satu permasalahan utama dalam memacu inklusi keuangan di Tanah Air.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto menyampaikan perluasan akses keuangan ke masyarakat yang tidak terjangkau Lembaga Jasa Keuangan (LJK) atau unbanked people menjadi tantangan inklusi di Indonesia.

"Unbanked dan underbanked people, bagaimana supaya mendapatkan kesempatan. Kalau yang didorong yang bankable, itu akan muncul ketimpangan kalau unbanked tidak didorong. Namanya inklusi ya semuanya," ujar Eko dalam Diskusi Publik bertajuk Masa Depan Innovative Credit Scoring Pasca UU P2SK di Jakarta, Selasa (27/6).

Menurut dia, akses keuangan dapat meningkatkan ekonomi kesejahteraan masyarakat. UMKM makin besar, makin membutuhkan akses keuangan.

Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan indeks inklusi keuangan di Indonesia tercatat sudah mengalami kenaikan setiap tahun. Indeks inklusi keuangan di Indonesia sebesar 60 persen pada 2013, meningkat menjadi 68 persen pada 2016, menjadi 76 persen pada 2019, dan menjadi 85 persen pada 2022.

Dari survei tersebut, Eko menjelaskan sebanyak 85 persen penduduk Indonesia telah memiliki akses terhadap layanan jasa keuangan, sedangkan, sebanyak 15 persen penduduk masih tergolong unbanked people. "Inklusi keuangan di Indonesia dari periode ke periode sebenarnya naik, tapi kita punya target yang lebih tinggi, tahun depan (2024) itu 90 persen," ujar Eko.

Namun demikian, lanjut dia, capaian nasional tersebut masih kalah dengan indeks inklusi keuangan berbagai negara lain, bahkan di Asia Tenggara. Berdasarkan laporan World Bank, inklusi keuangan Indonesia sebesar 51 persen pada tahun 2021, atau di bawah beberapa negara Asia Tenggara lainnya, diantaranya Vietnam sekitar 58 persen, Malaysia sekitar 90 persen, Thailand sekitar 95 persen, dan Singapura sekitar 98 persen.

Akses Kredit

Pada kesempatan sama, ekonom Senior Indef, Aviliani menyampaikan pengembangan Innovative Credit Scoring (ICS) di Indonesia penting untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap kredit. "Akses kredit di Indonesia perlu ditingkatkan dengan memperhatikan kualitas kredit," ujar Aviliani.

Dia menjelaskan ICS merupakan penilaian kelayakan kredit dengan memanfaatkan data-data nonekonomi keuangan yang tersedia, di antaranya data telekomunikasi, data e-commerce, dan data digital footprints lainnya. Menurut dia, data ICS perlu terhubung dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) milik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga data dan informasi setiap debitur akan lebih komprehensif.

Baca Juga: