Pelaku UMKM cenderung dibiarkan bersaing dengan barang asing yang dibebaskan masuk, apalagi melalui e-commerce yang menebus sampai ke pelosok wilayah Indonesia.

JAKARTA - Produk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dapat terancam oleh adanya pembukaan keran liberalisasi pasar seluas-luasnya. Banyaknya kesepakatan dagang membuat produk UMKM RI rawan terkena predatory pricing oleh produk luar.

Dalam logika ekonomi, predatory pricing merupakan salah satu bentuk strategi pelaku usaha menjual produk dengan harga sangat rendah. Tujuan utamanya untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar sama.

"Liberalisasi pasar membuka peluang ini terjadi, yang mana Indonesia menjadi 'medan perang' kompetisi produk sebagai salah satu dampak dan konsekuensi penandatanganan berbagai FTA (free trade agreement)," terang Peneliti Senior Indonesia for Global Justice (IGJ), Olisias Gultom, di Jakarta, Minggu (7/3).

Dia menegaskan predatory pricing terjadi pada situasi kompetisi yang tinggi dan pelaku memiliki kekuatan modal yang besar atau kemampuan produksi yang tinggi. Kekuatan modal membuat permainan harga bisa dilakukan dalam jangka waktu tertentu dalam upaya menguasai pasar yang nantinya akan mengontrol harga.

Lebih lanjut, dia menilai persoalan lain yang perlu menjadi sorotan adalah proses penentuan harga barang-barang impor di Indonesia. "Karena pembelian terbesar berbagai barang adalah belanja negara, sehingga banyak sekali barang impor harus melakukan penyesuaian harga," paparnya.

Olisias menilai ajakan pemerintah untuk membenci produk asing sangat kontras dengan kebijakan selama ini. Pemerintah Indonesia telah menandatangani 20 perjanjian dagang melalui mekanisme FTA maupun Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Dari jumlah itu, sembilan di antaranya telah diimplementasikan dan 11 telah diteken dan dalam proses implementasi, sementara 13 perjanjian lagi negosiasinya sedang berlangsung.

Keterbukaan pasar melalui perjanjian dagang ini masih ditambah lagi dengan keterbukaan pada platform digital. Perusahaan besar dunia seperti Google maupun Alibaba serta investor digital platform lainnya mendapatkan ruang yang leluasa dengan perlindungan yang rendah terhadap pelaku usaha dalam negeri, khususnya UMKM.

Dibiarkan Bersaing

Pemerintah juga belum belum terlalu melindungi pelaku UMKM. Mereka cenderung dibiarkan bersaing dengan barang asing yang dibebaskan masuk, apalagi melalui e-commerce yang menebus sampai ke desadesa terdalam di Indonesia. Dengan itu, mimpi UMKM berkualitas ekspor seperti bagaimana diperlihatkan oleh Alibaba atau Tao Bao Village terhambat.

Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, mengisahkan produk hijab RI yang terbaca oleh artificial intelligent (AI) milik sebuah perusahaan di luar negeri. Kemudian, perusahaan asing tersebut memproduksinya dalam jumlah banyak dan produknya dijual di Indonesia dengan potongan harga jauh lebih murah.

Menurut Lutfi, mekanisme perdagangan tersebut tidak boleh terjadi oleh aturan perdagangan internasional karena tidak memenuhi dua azas perdagangan yang tertib.

Peneliti Ekonomi CORE, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan dalam pernyataan tersebut berati comparative advantage produk hijab tersebut kalah dengan negara lain karena beraga hal, misalnya penggunaan teknologi, sumber daya manusia, dan dukungan pembiayaan. Indonesia bisa meningkatkan kapasitas comparative advantage dengan beragam cara. "Salah satunya, misalnya, mendorong kembali reindustrialisasi pada produk unggulan di dalam negeri," tegasnya.

Baca Juga: