Kehadiran pemasaran digital dapat memudahkan para pelaku UMKM menjangkau calon pembeli.
JAKARTA - Pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) perlu mengoptimalkan strategi pemasaran digital guna meningkatkan pendapatan dan perluasan pasar. Meski demikian, perlindungan terhadap UMKM perlu dilakukan di tengah ancaman predatory pricing atau perang harga di niaga-el atau e-commerce.
"Keberhasilan pemasaran sangat bergantung terhadap kreativitas dan semangat inovatif dari para wirausahawan itu sendiri," ujar Direktur PoliteknikKeuangan Negara STAN, Evi Mulyani, dalam acara bertajuk International Community Service 2024 di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (13/9).
Evi menuturkan pertumbuhan pengguna internet dan sosial media yang begitu pesat membuat teknik pemasaran produk tidak lagi secara tradisional dengan berjualan di bangunan-bangunan toko.
Kehadiran pemasaran digital dapat memudahkan para wirausahawan untuk menjangkau calon pembeli. Dengan demikian, UMKM dapat bersaing secara lebih efektif dan efisien melalui strategi pemasaran digital.
"UMKM perlu memahaminya agar mereka mahir mengalokasikan sumber daya dengan cara yang unik dan menerapkan strategi pemasaran yang menarik," kata Evi.
Berdasarkan Survei Penetrasi Internet Indonesia yang diterbitkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2024 mencapai 221 juta orang atau setara 79 persen dari total keseluruhan penduduk di negara ini. Komposisi pengguna internet di Indonesia paling besar adalah generasi milenial sebanyak 93,17 persen dan generasi Z sebanyak 87,02 persen.
Namun, Ahli Utama Pengembangan Kewirausahaan Kemenkop UKM, Hanung Harimba Rachman, mengingatkan, saat ini masih ada ancaman praktik predatory pricing dari niaga-el (e-commerce) asal Tiongkok. Praktik ilegal ini ditakutkan bakal mengancam ekosistem UMKM di Indonesia.
"Saat ini ada ancaman bahwa produsen dari Tiongkok itu, e-commerce baru, yang dia mengolaborasikan 250 industri di Tiongkok untuk bisa memasarkan produknya ke konsumen tanpa lewat intermediary (perantara). Itu akan 'membunuh' semua, baik penjual kita maupun produsen kita," kata Hanung di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Strategi Anti-Kompetitif
Sebagai catatan, predatory pricing merupakan praktik penetapan harga yang sangat rendah atau di bawah biaya produksi oleh sebuah perusahaan dengan tujuan untuk melemahkan pesaing di pasar. Setelah pesaing keluar dari pasar atau menjadi tidak kompetitif, perusahaan tersebut biasanya menaikkan harga kembali ke tingkat yang lebih tinggi, untuk memulihkan kerugian yang terjadi selama periode predatory pricing.
Strategi ini dinilai anti-kompetitif dan ilegal di banyak negara, termasuk Indonesia, karena dapat merusak persaingan yang sehat dan mempengaruhi konsumen dalam jangka panjang.
Hanung mengatakan pemerintah saat ini tengah melakukan penataan e-commerce melalui berbagai regulasi. Dia menyebutkan salah satunya lewat Peraturan Menteri Perdagangan No 31/2023 yang merupakan dari revisi Peraturan Menteri Perdagangan No 50/2020.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, nilai ekonomi digital UMKM dapat mencapai 4.531 triliun rupiah pada 2030, mengingat potensi peningkatan akses pasar yang lebih luas dalam ekosistem digital.
Adapun Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengingatkan dengan hadirnya aplikasi asing seperti Temu dapat mengancam keberadaan UMKM lokal karena Indonesia hanya akan semakin menjadi pasar bagi barang-barang impor. "Indonesia hanya dijadikan pasar, akan banyak pelaku usaha yang terancam gulung tikar dan menciptakan PHK massal terutama di sektor industri pengolahan," ujar Bhima.