Presiden Putin ingin agar Russia menarik ratifikasi perjanjian pelarangan uji coba nuklir, namun langkah itu memiliki konsekuensi mendorong negara lainnya untuk juga melakukan hal yang sama. 

LONDON - Russia mungkin akan membuka jalan untuk melakukan uji coba nuklir, sebuah langkah yang akan meningkatkan ketegangan dengan negara-negara Barat dan kemungkinan akan mendorong negara-negara lainnya untuk juga melakukan hal yang sama.

Pekan lalu, Presiden Russia, Vladimir Putin, mengatakan bahwa parlemen Russia harus mempertimbangkan untuk menarik ratifikasi Perjanjian Pelarangan Uji Coba Komprehensif (CTBT) tahun 1996 yang melarang uji coba ledakan nuklir, dan pada Senin (9/10) para pemimpin parlemen dijadwalkan membahas masalah ini.

Beberapa analis keamanan Barat kini melihat kemungkinan besar uji coba yang dilakukan Russia, meskipun Putin mengatakan tujuannya hanya untuk meniru posisi Amerika Serikat (AS) yang telah menandatangani namun belum meratifikasi perjanjian tersebut.

"Uji coba nuklir Russia jelas-jelas sedang direncanakan saat ini. Saya kira ini belum merupakan suatu kepastian, namun tidak akan mengejutkan siapa pun jika hal itu terjadi," kata James Acton, salah satu direktur program kebijakan nuklir di Carnegie Endowment for International Peace.

Sementara itu Matthew Harries, direktur proliferasi dan kebijakan nuklir di lembaga pemikir RUSI di London, Inggris, mengatakan bahwa pembatalan ratifikasi Russia akan menciptakan kerangka hukum bagi Russia jika benar-benar ingin melakukan uji coba nuklir.

"Jika Moskwa benar-benar melakukan uji coba, maka hal itu akan menjadi bentuk sinyal yang kuat, untuk mengingatkan masyarakat akan ancaman nuklir, untuk mencoba memberi sinyal tekad dan membangkitkan rasa takut," ucap Harries.

Sedangkan mantan diplomat Soviet dan Russia, Nikolai Sokov, mengatakan bahwa uji coba nuklir Russia akan menandai peningkatan yang amat serius terhadap penggunaan senjata atom.

"Pembatalan ratifikasi akan menjadi langkah politik dan bagian dari tinjauan yang lebih luas terhadap kewajiban keamanan Moskwa untuk menghilangkan ketidakseimbangan yang dirasakan dan menyamakan kedudukan dengan AS," tutur Sokov.

Perlu Pengujian

Russia belum pernah melakukan uji coba nuklir sejak tahun 1990, setahun sebelum runtuhnya Uni Soviet dan negara ini baru meratifikasi CTBT pada tahun 2000.

Meskipun perjanjian tersebut belum secara resmi berlaku karena negara-negara lain termasuk AS, Tiongkok, India, Pakistan, dan Israel belum meratifikasinya, perjanjian ini secara efektif menjadikan uji coba nuklir sebagai hal yang tabu.

Hanya Korea Utara saja yang pernah melakukan uji coba yang melibatkan ledakan nuklir pada abad ini.

Pekan lalu, Putin menyoroti dua senjata berkemampuan nuklir yaitu misil jelajah Burevestnik berbahan bakar nuklir dan misil balistik antarbenua Sarmat, yang menurutnya akan diproduksi massal oleh Russia dan ditempatkan dalam tugas tempur.

Sejak awal invasi Russia ke Ukraina, Putin berulang kali mengingatkan negara-negara Barat akan kekuatan nuklir Russia, termasuk dengan mengumumkan penempatan senjata nuklir taktis di Belarus. Dia juga menangguhkan partisipasi Moskwa dalam perjanjian New START yang membatasi jumlah hulu ledak nuklir yang dapat dikerahkan Russia dan AS.

Putin mengatakan dia melihat tidak perlu mengubah doktrin yang mengatakan Russia mungkin menggunakan senjata nuklir sebagai respons terhadap serangan nuklir atau ancaman terhadap keberadaan negara. Namun dia bersikap ambivalen terhadap pertanyaan tentang uji coba nuklir.ST/I-1

Baca Juga: