Oleh Endang Suryadinata
Ungkapan The love of money is the root of all evil dari filsuf Yunani kuno, Epicurus, ini menunjukkan peran besar uang dalam sejarah. Dia telah menyeret manusia baik menjadi penjahat sebagaimana deretan penguasa korup masa silam. Uang, skandal (seperti korupsi), dan kekuasaan memang berkaitan.
Demikian juga dengan peran uang negeri ini. Ketika masih disebut Nusantara, tiap kerajaan punya mata uang sendiri. Mengingat lama dijajah Belanda, uang paling lama berpengaruh di Nusantara adalah Gulden Belanda (1610-1817).
Ketika Indonesia merdeka, beberapa mata uang dipakai seperti "Rupiah Hindia Belanda", "Rupiah Jawa", "Gulden Belanda" atau "Gulden NICA." Baru pada 30 Oktober 1946, pemerintah membuat mata uang Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). ORI pertama dicetak dalam bentuk uang kertas bernominal satu sen. Gambarnya muka keris terhunus dan gambar belakang teks undang-undang. Ini ditandatangani Menteri Keuangan, Mr AA Maramis.
Namun dalam sejarah, ORI tenggelam, akibat semakin kuatnya rupiah. Padahal rupiah mengandung nada agak minor, kurang nasionalis, mengingat nama rupiah terkait dengan mata uang India, rupee. Rupiah yang makin kuat akhirnya ditetapkan sebagai mata uang nasional sejak 2 November 1949 (genap 60 tahun).
Memasuki dekade 1950, rupiah semakin stabil. Seiring dengan ini, demokrasi juga berkembang. Untuk pertama kalinya, pada 1955 digelar pemilu demokratis pertama diikuti banyak partai. Banyak kalangan mengagumi perkembangan demokrasi 1950- an seperti bisa dibaca di buku Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia-Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 yang diangkat dari tesis studi hukum mendiang Adnan Buyung di Belanda pada 1989.
Sayang, demokrasi terpimpin ala Bung Karno tidak suka melihat perkembangan demokrasi multipartai seperti itu, berkat Dekrit 5 Juli 1959. Era kediktatoran pun dimulai. Tapi setelah menyandang predikat Pemimpin Besar Revolusi selama tujuh tahun, Bung Karno turun dari kursi Presiden. Versi resmi memang menyebut Bung Karno turun karena Soeharto kudeta merangkak lewat Supersemar 1966. Tapi sesungguhnya, rupiahlah yang ikut andil. Maklum pada akhir tahun 1965, nilai rupiah jadi 35.000 per dollar AS, terendah dalam sejarah rupiah.
Kelahiran KKN
Bung Karno turun, Soeharto naik dan menjadi penguasa diktator (1966-1998). Uang atau rupiah menjadi orientasi utama dari praksis kekuasan. Korupsi atau "budaya" KKN mulai lahir dan subur era Soeharto. Maklum, uang sumber segala kejahatan seperti diungkapkan Epicurus tadi.
Penyanyi Mogi Darusman (1947-2007) pernah menggambarkan kekuasaan rezim ketika itu dengan lagu Rayap-rayap. Liriknya, "Kau tahu rayap-rayap, makin banyak di manamana. Di balik baju resmi, merongrong tiang negara."
Banyak kalangan menilai, salah satu kelemahan terbesar Soeharto "terlambat untuk berhenti". Padahal kalau dia mau berhenti pada 1985, cerita akan lain. Tapi nafsu uang dan kekayaan makin menjadi-jadi. Namun gara-gara uang pula, rezim Soeharto tumbang saat rupiah anjlok ke posisi 17.200 per dollar AS pada April 1998.
Bisa diingat, gerakan "Aku Cinta Rupiah" yang digelorakan Mbak Tutut, tidak bisa menyelamatkan mata uang itu, demikian pun posisi Soeharto. Anehnya, banyak orang tak mau belajar dari kejatuhan Bung Karno atau Harto.
Buktinya, pasca-Reformasi 1998, korupsi atau penggarongan kekayaan negara demi rupiah justru makin berkembang. Jika era Soeharto, banditnya hanya satu dan terpusat di Jakarta, selama era Reformasi malingnya bisa lebih dari 1.000 dan tersebar di seantero negeri. Mereka berlomba-lomba korupsi (Bdk Buku Mancur Olson, Power and Prosperity, 2000).
Kekuasaan atau jabatan banyak dicari atau dikejar, bukan untuk melayani dan menyejahterakan rakyat, tetapi buat menggarong dan menumpuk rupiah demi ego masing- masing. Bahkan yang disebut wakil rakyat atau DPR sesungguhnya hanya wakil ambisi dan nafsu untuk memburu uang. Slank pernah membuat lagu yang liriknya bikin panas anggota dewan (2008), "Mau tau gak mafia di Senayan? Kerjanya tukang buat peraturan. Bikin UUD … ujung-ujungnya duit."
Lirik lagu tersebut ternyata masih sangat relevan di "zaman now", ketika Ketua DPR justru menjadi tersangka mega skandal e-KTP. Kasus ini memperlihatkan para birokrat (eksekutif ) bersama wakil rakyat (legislatif ) justru merancang langkahlangkah korupsi berjemaah.
Namun, publik jangan terkecoh dengan dramatisasi Setnov karena bukti bukti di kian menyudutkan. Tentu konyol jika dalam konteks ini, ada yang hendak memakai argumentasi "hak imunitas/kekebalan" selaku anggota DPR. Itu benarbenar tidak tahu malu. Etika politik sudah rusak atau hendak dijungkirbalikkan.
Padahal, pelanggaran terhadap etika sudah diatur dalam Tap MPR VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, yang masih berlaku. Bunyinya: "Pejabat negara yang menjadi sorotan publik karena tingkah laku dan kebijakannya, harus mundur, tanpa perlu menunggu keputusan pengadilan."
Pemberantasan KPK
Sebenarnya sebelum lahir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), negeri ini sudah menyiapkan berbagai perangkat hukum untuk mengantisipasi korupsi. Yang paling awal adalah Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 disebut Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi. Ini dibuat penguasa militer, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut.
Di awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No 28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak bisa berfungsi. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badanbadan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi seperti Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Era Gus Dur inilah sebenarnya muncul rencana membentuk sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan jelas untuk memberantas korupsi.
Pasca-Gus Dur lengser, Presiden Megawati mewujudkan semangat pemberantasan korupsi. KPK resmi didirikan sesuai UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Namun sejak berdiri, KPK justru terus menghadapi upaya sistematis untuk dimandulkan atau bahkan dibubarkan. Bahkan dengan meminjam tangan lembaga tinggi negara. Sudah banyak drama kriminalisasi Ketua KPK.Penulis Lulusan Erasmus Universiteit Rotterdam