Dampak silang data ini tidak hanya menjadi perdebatan publik, tetapi juga berpotensi melahirkan krisis pangan di Indonesia.

JAKARTA - Silang data produksi beras antara Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sejak 2009 belum terselesaikan tuntas. Situasi tersebut terus memicu polemik dilematis berupa keputusan pemerintah mengimpor beras, yang seharusnya bisa dicegah.

"Seharusnya tidak perlu impor, apalagi produksi nasional sudah mencukupi. Mungkin karena perbedaan data Kemendag tidak akurat maka akhirnya impor dan dapat mengakibatkan kekecewaan serta melemahkan semangat petani. Akibatnya, pasti harga beras merosot tajam dan petani tidak mampu bersaing," ujar Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, di Jakarta, Selasa (3/1).

Akibat data produksi beras yang tidak sinkron, politisi Fraksi Partai Golkar ini menegaskan Kementan dan Kemendag tidak main-main mengelola data. Dia menekankan dampak silang data ini, tidak hanya menjadi perdebatan publik, tetapi juga berpotensi melahirkan krisis pangan di Indonesia.

"Jadi, akibat data tidak sinkron ini maka ada unsur-unsur negatif harus dihadapi. Untuk itu, karena kesimpangsiuran data ini, pemerintah harus menyikapi dengan serius agar tidak terjadi perdebatan berkelanjutan seperti ini," jelasnya.

Bagi Firman, Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai perlu menggunakan otoritasnya untuk menetapkan data guna meminimalisir area abu-abu saat pemerintah mengambil keputusan untuk sektor pertanian Indonesia. Dirinya tidak ingin keputusan impor ini terulang kembali karena kesenjangan data antara Kementan dan Kemendag.

"Oleh karena itu, siapa sebenarnya mempunyai otoritas dan berhak untuk menetapkan data, maka BPS yang berhak untuk menetapkan data. Karena BPS merupakan lembaga negara punya tanggung jawab," tandas Legislator Dapil Jawa Tengah III itu.

Adapun Kementan terus melakukan pemantauan kondisi pertanaman dan luas panen dengan menggunakan metode citra satelit. Metode ini merupakan sistem informasi Standing Crop (SISCrop) untuk menghitung kondisi secara ril time.

Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian Badan Standarisasi Instrumen Pertanian (BSIP Kementan), Husnain, menjelaskan sistem kerja citra satelit mampu mengomunikasikan kondisi di lapangan dengan kombinasi model optik dan star yang menembus awan menggunakan sensor radar.

"Dari hasil pemantauan masa panen raya diprediksi akan berlangsung pada bulan Februari, Maret, dan April sehingga tidak ada kekhawatiran dengan kondisi beras nasional selama beberapa bulan ke depan," terang Husnain.

Kendalikan Harga

Sementara itu, Direktur Supply Chain Pelayanan Publik Perum Bulog, Mokhamad Suyamto, menegaskan kebijakan pemerintah mengimpor beras sebesar 500 ribu ton melalui Bulog untuk memperkuat stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Hal itu untuk menahan laju kenaikan harga beras, tertutama melalui operasi pasar.

"Dengan adanya impor beras dan pasokan CBP terpenuhi maka berapa pun permintaan operasi pasar bisa dipenuhi sehingga harga beras di pasaran akan terkendali," ujarnya.

Sebanyak 200 ribu ton dari kuota 500 ribu ton jumlah beras impor sudah keluar dari negara asal dan saat ini sedang proses pembongkaran di beberapa pelabuhan di Indonesia.

"Memang ada kendala karena ombak dan curah hujan tinggi sehingga sebagian kecil kapal beras impor ini ada yang belum berlabuh," katanya.

Baca Juga: