Semoga saja komitmen pemerintah merencanakan pensiun dini PLTU batu bara kali ini benar-benar terlaksana, bukan hanya ­ikut-ikutan Tiongkok dan AS yang tidak lagi mendukung pembangunan proyek energi kotor sebagai komitmen dari Perjanjian Paris.

Kabar gembira tentang komitmen Indonesia untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT) kini datang lagi. Pemerintah melalui Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara akan memutus lebih dini kontrak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara mulai 2030. Hal itu sebagai bentuk kepedulian akan pentingnya mengurangi emisi karbon penyumbang gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan pemanasan global.

Kenapa ini kabar gembira? Karena sudah sejak lama pemerintah berkomitmen namun hingga 2020 porsi EBT dalam bauran energi Indonesia baru mencapai 11 persen dari target 23 persen pada 2025.

Bagaimana realisasi bisa tinggi jika Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih terus membangun PLTU batu bara sampai tahun depan. Yang ada nanti produksi emisi karbon yang dihasilkan dari PLTU batu bara akan semakin besar, lebih cepat dari pengembangan EBT.

Padahal di 2015 lalu, Dunia bersatu dan menyetujui Perjanjian Paris dalam hal perubahan iklim. Dalam perjanjian yang mengikat tersebut,196 negara termasuk Indonesia, berkomitmen menjaga kenaikan rata-rata suhu global di bawah 2 derajat Celsius dan berupaya membatasi hingga 1,5 derajat celsius.

Akhir Oktober hingga pertengahan November ini, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ke-26 (COP26) terkait perubahan iklim akan berlangsung di Glasgow, Inggris. Presiden COP26 Alok Sharma mengingatkan bahwa COP26 bukanlah acara untuk foto bersama. COP26 harus menjadi forum dimana kita menempatkan dunia di jalur yang tepat untuk menyelamatkan iklim. Dan itu tergantung kepada pemimpin yang telah membuat janji kepada dunia, dan para pemimpin lah yang harus menghormatinya.

Dia mengajak semua negara G20 (Indonesia juga termasuk di dalamnya) dan penghasil utama gas rumah kaca untuk mengikuti negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim tetapi sudah mengambil langkah-langkah nyata untuk melindungi planet dan penduduknya di tengah situasi sulit karena pandemi Covid-19 saat ini.

Ajakan tersebut tentu juga ditujukan kepada Indonesia yang sampai saat ini hanya sebatas janji-janji semata dalam pengembangan EBT. Transisi energi fosil ke EBT di Indonesia perlu political will dan kerja keras semua pihak. Setiap penugasan dari pemerintah kepada PLN idealnya difokuskan pada pengembangan EBT. Jika komitmen dari PLN jelas maka swasta pun pasti tertarik berinvestasi di sektor EBT.

Karena itu, ke depan penggunaan EBT bukan lagi pilihan tetapi keharusan agar target net zero emission pada 2060 bisa tercapai. Dan pembangkit listrik berbasis batu bara harus dipensiundinikan (early retirement). Apa kata dunia jika kita terus mengandalkan energi fosil dan terus memproduksi karbon.

Presiden Tiongkok, Xi Jinping yang selama ini selalu mendukung proyek PLTU batu bara di negara sedang berkembang seperti Bangladesh dan Indonesia, dalam pidatonya di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, September lalu mengatakan bahwa Tiongkok tidak akan mendanai lagi pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) di luar negeri.

Dan menariknya, janji Xi tersebut muncul beberapa jam setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden mengumumkan rencana untuk menggandakan bantuan keuangan kepada negara-negara miskin menjadi 11,4 miliar dolar AS pada 2024, agar beralih ke energi yang lebih bersih dan mengatasi dampak pemanasan global yang memburuk.

Semoga saja komitmen pemerintah yang merencanakan pensiun dini PLTU batu bara kali ini benar-benar terlaksana, bukan hanya ikut-ikutan Tiongkok dan AS yang tidak lagi mendukung pembangunan proyek energi kotor sebagai komitmen dari Perjanjian Paris.

Baca Juga: