Setiap tahun, pemerintah terus memberi modal penyertaan untuk menjaga keuangan BUMN seperti Waskita Karya.

JAKARTA - Rupiah semakin sulit keluar dari tekanan terhadap dollar Amerika Serikat (AS) bukan hanya karena sentimen suku bunga global yang tinggi yang diperkirakan berlangsung lama, tetapi juga karena fundamental dari internal yaitu tumpukan utang.

Jumlah utang yang disampaikan pemerintah sebesar 8.338 triliun rupiah ternyata hanya merupakan akumulasi dari penarikan pembiayaan selama ini untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Belum memperhitungkan utang BUMN yang juga diperkirakan sekitar 8.000 triliun rupiah juga, ditambah utang pensiun dan BPJS sekitar 4.000 triliun rupiah, sehingga totalnya mencapai 20 ribu triliun rupiah.

Utang yang sangat besar itu menjadi penyebab rupiah terus tertekan, karena devisa yang masuk tidak mampu memenuhi permintaan valuta asing (valas) untuk membayar utang, baik angsuran maupun bunganya.

Pengamat ekonomi dari Universitas Muhamamadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengatakan neraca utang pemerintah adalah sesuatu yang sulit dipahami oleh publik secara luas.

"Fakta di lapangan, utang pemerintah jauh lebih besar daripada yang diakui. Sebab, jika terjadi sesuatu pada BUMN, misalnya, mau tidak mau pemerintah yang harus membayarnya. Setiap tahun, pemerintah juga masih terus memberi modal penyertaan untuk menjaga keuangan BUMN," kata Maruf.

Dengan ada kesalahan menempatkan prioritas belanja publik berdampak pada utang yang menggunung termasuk utang BUMN, sehingga tidak sebanding dengan peningkatan kapasitas bayar pemerintah.

"Inilah yang membuat rupiah saat ini tertekan hebat karena produktivitas ekspor maupun dalam negeri tidak meningkat, padahal utang melesat," kata Maruf.

Jumlah utang pemerintah yang diakui belum sampai ambang batas UU yakni 40 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dan diklaim masih sehat dengan membandingkan utang negara-negara maju yang lebih dari 100 persen dari PDB.

"Pembanding itu tidak tepat, sebab AS dan Jepang itu juga pemberi utang dalam jumlah besar. Mereka juga eksportir besar, sehingga pendapatan mereka dalam dollar itu jauh lebih besar dari kita yang hanya bergantung pada ekspor komoditas mentah," terang Maruf.

Dalam situasi seperti itu, pemerintah banyak memaksakan belanja yang tidak prioritas sehingga banyak pos belanja publik yang semestinya diprioritaskan, justru tidak terpenuhi karena alasan keterbatasan fiskal. "APBN yang tidak kredibel karena utang menggunung, tapi produktivitas tidak meningkat membuat kedaulatan termasuk kedaulatan rupiah, terus tertekan," tandas Maruf.

Genjot Produktivitas

Pada kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengaku utang jumbo menjadi salah satu pemicu melemahnya nilai tukar rupiah.

"Penyebab nilai tukar terdepresiasi karena supply dollar AS terbatas, sementara permintaan dollar AS lebih besar, misalnya untuk bayar utang, kebutuhan impor, dan lain sebagainya," jelas Esther.

Ia pun mendorong agar pemerintah lebih transparan melaporkan utangnya agar bisa diawasi publik dan bisa diukur kemampuan negara membayar utang. Bagaimanapun, utang yang besar berdampak pada APBN.

Esther juga mendorong agar produktivitas terus digenjot agar memperkuat nilai tukar. "Jika suatu negara semakin produktif maka semakin kuat dan stabil nilai tukar rupiah terhadap dollar AS," kata Esther.

Anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menyoroti kebijakan pemerintah yang tidak transparan. Dia sebutkan bahwa sebenarnya total utang kita 100 persen dari total postur APBN.

"Tidak fair ketika membandingkan utang kita dengan Jepang dan Amerika yang mana mereka masukan semuanya, tetapi kita tidak," tegas Misbakhun di acara Podcast Akbar Fasial Uncensored.

Misbakhun menegaskan bahwa pembahasan soal utang merupakan salah satu hal yang fundamental karena berkaitan dengan bagaimana membangun Indonesia ke depan, termasuk dari mana basis pembiayaannya.

"Kalau kita temukan cara yang benar untuk bangun Indonesia ke depan maka akan temukan apa yang disampaikan Soekarno, yakni keadilan, kemandirian, dan kebebasan. Kalau kita masih berutang maka yang dicapai di kemerdekaan kita itu baru kedaulatan dan kebebasan, tetapi kemandirian itu masih menjadi masalah," tegas Misbakhun.

Pembiayaan yang berbasis utang berimplikasi pada kebijakan yang ditempuh, termasuk soal kedaulatan dan kemandirian.

Pada kesempatan lain, pengamat ekonomi, Yanuar Rizky, menyoroti pencatatan utang pemerintah yang hanya membahas risiko APBN tanpa menghitung risiko pembiayaan APBN.

"Kita lihat Waskita Karya yang sudah alami negatif equity. Artinya, rekening modal yang ada di APBN sudah digerogoti oleh likuidasi BUMN itu. Artinya, selanjutnya negara harus menambah lagi modal melalui penyertaan modal negara (PMN) yang diambil dari surat utang tadi," paparnya.

Baca Juga: