JAKARTA - Diulang tahunnya yang ke-70, ahli komunikasi dan media, Prof. Anwar Arifin Andipate, meluncurkan bukunya yang ke-70 bertema 'Pergulatan Perwakilan ke-Indonesiaan' yang berisi tentang gagasan-gagasan akan ke-Indonesiaan untuk melindungi Pancasila dan NKRI. Anwar Arifin mengatakan, di era globalisasi ini, bangsa Indonesia dipengaruhi oleh sistem asing yang bertujuan agar masyarakat Indonesia meninggalkan ke-Indonesiaan dan mengikuti ideologi Barat yang seolah-olah menyamaratakan ideologi yang ada di seluruh dunia khususnya Indonesia.

"Jadi tiap-tiap negara itu memiliki kepribadiannya sendiri, menerapkan demokrasi sesuai kondisi lokal di negaranya," ujar Anwar Arifin, dalam peluncuran buku sekaligus peringatan 70 tahun di Perpustakaan Nasional, Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (11/12). Menurut Anwar Arifin, Indonesia harus menerapkan sistem demokrasi sesuai kondisi lokal, sebab sejarah dan latarbelakang pemikiran, kondisi sosial dan ekonomi Bangsa Indonesia itu beda sendiri.

Sehingga ideologi yang paling cocok untuk Bangsa Indonesia itu hanyalah Pancasila. Ia pun menyitir kata bijak dari salah satu Proklamator, Bung Karno 'Kedaulatan rakyat ciptaan pemikir Indonesia, berbeda dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualistis, sehingga demokrasi Barat apriori ditolak.

Kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia, harus berakar dalam pergaulan hidup itu sendiri yang bercorak kolektivisme. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi.' "Itulah yang saya perjuangakan, karena kita semakin hari semakin jauh dari cita-cita pendiri republik akibat pengaruh globalisasi," ungkapnya.

Lebih jauh dosen tetap sekaligus Guru Besar Universitas UPI YAI itu menilai, untuk menjaga persatuan bangsa, sudah semestinya pemerintah mempunyai pemikiran berbagi bukan bersaing, untuk membangkitkan kembali gerakan primordial di tengah masyarakat. Mantan Guru Besar Universitas Veteran (UVRI) itu menyayangkan kebiasaan orang Indonesia kebanyakan yang suka meniru karena tidak tumbuhnya budaya literasi di dalam masyarakat.

Hal ini disebabkan karena kebiasaan masyarakat yang kurang, hanya dengar di radio dan lihat televisi sehingga hanya mengetahui informasi dari 'kulitnya' saja. "Hal seperti ini yang berbahaya bagi republik," Mantan Anggota DPR dua periode itupun mengungkapkan berdasarkan kondisi di atas, dapat dipahami jika banyak sarjana-sarjana di Indonesia belum mampu mencipta dan berinovasi, melainkan masih dalam taraf 'meniru tiada henti'. Pada acara tersebut, turut pula dihadiri Wakil Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar, Akbar Tanjung, Kepala Perpusnas, M Syarif Bando dan Ketua Lembaga Pengkajian MPR, Rully Chaerul Azwar. rag/AR-3

Baca Juga: