» Berapa pun kenaikan harga beras akan dibeli, dan kenaikan beras itulah yang mengerek harga barang lain ikut naik.

» Badan Pangan Nasional harus bertanggung jawab menjaga keterjangkauan harga beras di masyarakat bawah.

JAKARTA - Kenaikan harga beras sejak Juni 2023 atau sudah hampir sembilan bulan, hingga saat ini belum bisa dikendalikan. Belum terkendalinya harga komponen kebutuhan pokok paling utama itu terlihat pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan beras tetap sebagai penyumbang inflasi bulanan terbesar pada Februari 2024 lalu.

Deputi bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah, di Jakarta, Jumat (1/3), mengatakan tren inflasi komoditas beras masih berlanjut hingga Februari, dengan inflasi mencapai 5,32 persen.

"Komoditas penyumbang inflasi bulanan atau month to month (mtm) pada Februari 2024 adalah beras dengan andil 0,21 persen," kata Habibullah.

BPS mencatat inflasi bulan Februari 2024 sebesar 0,37 persen, sedangkan secara tahunan atau inflasi Februari 2024 dibanding Februari 2023 tercatat 2,75 persen dan inflasi tahun berjalan atau year to date (ytd) 0,41 persen.

Habibullah mengatakan kenaikan harga beras hampir dirasakan di semua provinsi, tepatnya di 37 dari 38 provinsi di Indonesia yang ada saat ini.

Secara umum, jelasnya, komponen harga bergejolak (volatile food) mengalami inflasi sebesar 1,53 persen dengan andil lebih tinggi yaitu 0,25 persen dibanding komponen lainnya yaitu inflasi inti 0,09 persen dan inflasi harga yang diatur pemerintah 0,03 persen.

Selain beras, komoditas pangan lainnya yang menjadi faktor pendorong inflasi Februari adalah cabai merah dengan andil 0,09 persen, telur ayam ras 0,04 persen, serta daging ayam ras 0,02 persen.

Khusus cabai merah, inflasi tercatat di setiap level perdagangan, di mana inflasi pada produsen perdesaan sebesar 4,56 persen, grosir 16,01 persen, dan eceran 17,78 persen. Kenaikan harga cabai merah di tingkat eceran sejalan dengan kenaikan harga di produsen perdesaan dan grosir.

Sedangkan inflasi komoditas telur dan daging ayam ras didorong oleh kenaikan harga pakan ternak ayam, yang mengalami inflasi 0,36 persen untuk bahan pakan dedak, 0,80 persen untuk jagung pipilan, 0,04 persen untuk bekatul, dan 0,22 persen untuk bungkil.

Menanggapi tren kenaikan harga beras itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan pemerintah ke depan harus mengantisipasi kenaikan harga beras karena ada momen bulan Puasa dan Lebaran yang bisa tambah memicu kenaikan harga.

"Komoditas beras merupakan kebutuhan pokok dan sebagian besar masyarakat makan nasi sehingga permintaan beras bersifat inelastis. Artinya, berapa pun kenaikan harga beras akan dibeli, dan kenaikan harga beras mendorong kenaikan harga barang lain jadi terjadi inflasi," kata Esther.

Sebab itu, penting untuk menjaga pasokan beras di Indonesia agar harga beras stabil dan tidak inflasi.

Dia juga menyoroti semakin turunnya produktivitas beras dalam negeri, sehingga kebutuhan harus dipenuhi dengan impor. "Makanya, pemerintah harus memacu petani dengan berbagai stimulus agar mereka meningkatkan produksi sehingga pasokan ke pasar tidak berkurang," kata Esther.

Pengelolaan Beras Keliru

Dihubungi pada kesempatan terpisah, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan jika mencermati pernyataan BPS bahwa pada awal tahun ini harga beras mencetak rekor tertinggi dalam sejarah, maka hal itu mengindikasikan ada yang keliru dalam pengelolaan beras nasional.

Padahal, Badan Pangan Nasional (Bapanas) sudah dibentuk dan mendapat amanat khusus dalam mengelola stok pangan nasional.

"Rekor harga tertinggi tentu diharapkan oleh petani, tapi apakah mereka menikmati kenaikan harga itu. Sementara rakyat bawah juga akan kesulitan karena pangan adalah pengeluaran kebutuhan terbesar mereka," kata Aditya.

Sesuai regulasi, Badan Pangan Nasional harus bisa mempertanggungjawabkan tugas dan kewajibannya dengan menjaga keterjangkauan harga di masyarakat bawah. Mereka harus bisa mengoordinasikan semua stakeholders pangan demi keterjangkauan dan keamanan stok pangan.

"Beras untuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) terbukti belum maksimal karena belum mampu menurunkan harga, hanya sebatas menahan agar harga tidak turun lebih dalam sehingga perlu dievaluasi," pungkas Aditya.

Baca Juga: