Penurunan konsumsi di kelas menengah tak menunjukkan uang yang dimiliki semakin habis, tetapi memang tabungan atau investasinya semakin banyak.

JAKARTA - Penurunan konsumsi di kalangan masyarakat kelas menengah bukan dipengaruhi melemahnya daya beli. Penurunan tersebut ditengarai akibat terjadinya pergeseran karakteristik kelas menengah dari konsumsi ke tabungan atau investasi.

"Kalau kita melihat dari nasabah bank, kecenderungannya kelas menengah di Indonesia ini asumsinya pendidikannya sudah bagus, sehingga tingkat pendapatannya jauh lebih baik," ucap Ekonom Senior Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Aviliani, dalam diskusi virtual di Jakarta, Selasa (10/8).

Dengan demikian, kata dia, penurunan konsumsi di kelas menengah tak menunjukkan uang yang dimiliki semakin habis, tetapi memang tabungan atau investasinya semakin banyak. Tren tersebut sangat berbeda dengan 2012, tercatat terdapat 48 juta kelas menengah yang memakai 80 persen pendapatannya untuk konsumsi, sedangkan 20 persen untuk tabungan atau investasi.

Sementara pada 2020, dari 112 juta kelas menengah menggunakan 50 persen pendapatan untuk tabungan atau investasi, sedangkan 50 persen lainnya dipakai untuk konsumsi. Selanjutnya, dia menyebutkan pada 2030 diproyeksikan sebanyak 209 juta kelas menengah akan menyisihkan 80 persen pendapatannya untuk tabungan atau investasi, sementara 20 persen pendapatan digunakan untuk konsumsi.

Pada 2040, trennya pun makin meningkat yakni diperkirakan mencapai 90 persen pendapatan 250 juta kelas menengah akan digunakan untuk tabungan atau investasi dan 10 persen untuk konsumsi. "Sehingga kecenderungannya ke depan bank hanya akan menjadi tempat untuk numpang lewat antara investasi dan yang lainnya saja," kata Aviliani.

Karena itu, Aviliani menyarankan bank beradaptasi mempertahankan nasabah melalui restrukturisasi platform dan proses teknologi informasi. Dia menjelaskan adaptasi mempertahankan nasabah tersebut merupakan salah satu skenario masa depan perbankan agar lebih baik dan kebanyakan dilakukan bank-bank besar.

Kemudian, skenario masa depan bank lainnya, yakni dengan cara membangun bank baru dengan platform bank digital. Selanjutnya, Aviliani menyebutkan bank nantinya harus bisa menjadi agregator dari penyedia fintech dan lembaga keuangan lainnya, karena bank dan fintech tanpa sadar sebenarnya saling membutuhkan.

Bank juga harus bisa menjadi penyedia pelayanan komunitas, tidak hanya pelayanan produk, tetapi juga memberikan saran investasi dan lainnya. "Sehingga, bukan hanya menyediakan investasi, tetapi memberi saran investasi kepada masyarakat," ucap Aviliani.

Transaksi Nontunai

Sementara itu, Senior Vice President Transaction Banking Retail Sale Bank Mandiri, Thomas Wahyudi, mengatakan pihaknya terus mendorong transaksi nontunai, salah satunya dengan turut dalam Gerakan Indonesia Pasti Bisa. Dalam kolaborasi tersebut, Bank Mandiri memungkinkan pelanggan membeli makanan secara online di DigiResto yang kemudian dapat dibayar dengan kartu debit atau kredit Bank Mandiri.

"Kami melihat banyak usaha yang terbatas usahanya, jam bukanya, karena pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Karena itu, transaksi kita coba alihkan ke digital," kata Thomas, di Jakarta, Selasa (10/8).

Dia berharap dengan kolaborasi ini, nasabah Mandiri tetap bisa memesan makanan di restoran-restoran favorit meskipun tengah melakukan isolasi mandiri (isoman). Transaksi pun bisa dilakukan secara cashless untuk menghindari penyebaran Covid-19.

Baca Juga: