JAKARTA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memprediksi masih akan ada Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang bangkrut pada tahun ini. Kebangkrutan tersebut disebabkan kesalahan pengelolaannya, bukan dampak perekonomian.

Menurut catatan LPS, tren dalam 18 tahun terakhir menunjukkan rata-rata ada 7-8 BPR tumbang per tahun. "Bukan bank, tapi BPR. Di awal ada yang diserahkan ke LPS dan kami tangani dengan cepat dan smooth sehingga tidak ada keresahan di masyarakat. Yang penting adalah dana masyarakat diganti dengan cepat," kata Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa saat konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Selasa (30/1).

Purbaya menjelaskan, tren kebangkrutan beberapa BPR setiap tahun itu bukan dikarenakan memburuknya kondisi ekonomi melainkan maraknya praktik fraud. Sedangkan kondisi bank umum sendiri, hingga saat ini masih tercatat solid.

Awal 2024, sudah ada dua BPR dan BPRS yang bangkrut yakni BPR Wijaya Kusuma pada 4 Januari 2024 dan BPRS Mojo Artho Kota pada 26 Januari 2024. Namun, dia memberikan catatan tumbangnya beberapa BPR tersebut tidak akan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian nasional.

BPRS Mojo Artho sebagai BPRS terakhir yang tercatat bangkrut, telah dilakukan proses pembayaran klaim penjaminan simpanan dan pelaksanaan likuidasi oleh LPS.

Proses pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah dan pelaksanaan likuidasi bank dilakukan setelah izin BPRS Mojo Artho Kota Mojokerto dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 26 Januari 2024.

Selain itu, LPS akan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data simpanan dan informasi lainnya untuk menetapkan simpanan yang akan dibayar.

Rekonsiliasi dan verifikasi dimaksud akan diselesaikan LPS paling lama 90 hari kerja sejak tanggal pencabutan izin usaha. Pembayaran dana nasabah akan dilakukan secara bertahap selama kurun waktu tersebut.

Perkuat Koordinasi

Pada kesempatan sama, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyampaikan pihaknya akan terus berkoordinasi dengan LPS untuk mengantisipasi lebih banyak lagi BPR yang bangkrut.

Salah satu upaya yang dilakukan OJK dalam pengawasan operasional BPR yaitu melalui Single Presence Policy (SPP). Kebijakan diarahkan untuk menggabungkan beberapa BPR yang dimiliki oleh pemilik yang sama untuk memperkuat kondisi BPR.

"Terkait dengan BPR yang diserahkan ke LPS untuk penyelesaian, apa yang ingin dilakukan OJK sesuai dengan pengembangan sektor keuangan (UUP2SK), melakukan konsolidasi untuk mendukung pertumbuhan yang sehat dari BPR di seluruh Indonesia," terang Mahendra.

Baca Juga: