BERLIN - Berkurangnya tindak korupsi kecil berbanding terbalik dengan praktik rasuah kelas kakap yang semakin mewabah. Upaya pemberantasan diyakini terhambat oleh pelanggaran HAM seiring menguatnya tren autoritarianisme di dunia. Kesimpulan tersebut tercantum dalam Indeks Persepsi Korupsi 2021 yang dirilis organisasi antikorupsi, Transparency International (TI), Selasa (25/1).

Dalam studinya mereka mencatat bahwa pengawasan dan hak sipil semakin tertekan, tidak hanya di negara-negara dengan budaya korupsi sistemik dan institusi yang lemah, tetapi juga di negara-negara demokrasi maju.

Melemahnya perlindungan terhadap hak asasi manusia di banyak negara diyakini memperkuat tren impunitas dalam delik korupsi. Untuk itu para peneliti membandingkan data korupsi miliknya dengan rapor kebebasan sipil oleh Economist Intelligence Unit, dan data pembunuhan terhadap aktivis HAM dan antikorupsi oleh Frontline Defenders.

Hasilnya, negara-negara yang mencetak skor buruk pada Indeks Persepsi Korupsi, cendrung mencatat angka pelanggaran HAM yang tinggi.

"Hak-hak fundamental seperti kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan hukum yang adil akan menjamin partisipasi publik dan mencegah praktik korupsi," tulis Transparency International dalam laporannya.

Organisasi nirlaba yang bermarkas di Berlin, Jerman, itu terutama menyoroti skandal software spionase, Pegasus, yang digunakan otoritas untuk memata-matai pegiat HAM, wartawan atau rival politik di seluruh dunia.

"Dalam hal ini, pandemi korona digunakan di banyak negara sebagai alasan untuk memberangus kebebasan dasar dan mengenyampingkan pengawasan," lanjut laporan tersebut.

"Hak asasi bukan kemewahan dalam perang melawan korupsi. Memastikan bahwa warga dan media bisa berbicara secara bebas dan mengawasi pemerintah adalah satu-satunya cara paling berkelanjutan menuju masyarakat bebas korupsi," kata Delia Farreira Rubio, Direktur Transparency International dalam keterangan persnya, Selasa.

Satu dari sedikit kemajuan dalam penanggulangan korupsi di dunia adalah keberhasilan negara-negara Asia Pasifik untuk meredam praktik suap dalam layanan publik. Namun begitu, kesuksesan itu tidak berbanding selaras dengan skor rata-rata yang hanya berkisar 45 dari 100.

Indeks Persepsi Korupsi mengukur penilaian pakar dan pengusaha perihal seberapa korup sebuah institusi melalui sejumlah indikator. Studi yang dirangkum secara tahunan itu sering digunakan sebagai tolak ukur prestasi penanggulangan korupsi di seluruh dunia. DW/AP/Rtr/I-1

Baca Juga: