Jika hanya bertumpu pada kebijakan saat ini tanpa strategi terukur, pencapaian target bauran energi terbarukan akan lambat.

JAKARTA - Kebijakan energi dan dekarbonisasi industri perlu diperbarui demi mencapai target bauran energi terbarukan. Sebab, penerapan energi terbarukan sampai saat ini masih lamban.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang jika Indonesia hanya bertumpu pada kebijakan saat ini tanpa strategi terukur, maka pencapaian target bauran energi terbarukan akan lambat. "Bahkan, (bauran energi) Indonesia tidak akan melebihi 30 persen pada 2060," kata Koordinator Grup Riset Sumber Daya Energi dan Listrik IESR His Muhammad Bintang dalam diskusi bersama media bertajuk Update Isu dan Kebijakan Transisi Energi di Indonesia di Jakarta, Rabu (3/7).

Karena itu, IESR menilai Indonesia perlu mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan sebagai strategi penurunan emisi gas rumah kaca untuk mencapai net zero emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, demi membatasi kenaikan suhu bumi yang menyebabkan krisis iklim.

Untuk mencapai target bauran energi terbarukan dan penurunan emisi sektor energi secara signifikan, menurut IESR, dibutuhkan pemutakhiran kebijakan seperti Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Selanjutnya, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), dan finalisasi RUU Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) harus mencakup peningkatan target penurunan emisi dan skema yang mendukung pencapaian tersebut secara terukur.

Bintang menuturkan lambatnya pertumbuhan sektor ketenagalistrikan, yang diharapkan akan mendorong penambahan bauran energi terbarukan, terlihat dari pembangkit energi terbarukan yang baru mencapai sekitar 1 GW hingga 2023, jauh dari target awal sebesar 3,4 GW yang ditetapkan pada 2021.

Menurutnya, terdapat beberapa penyebab lambannya implementasi energi terbarukan. Pertama, rendahnya permintaan energi dibandingkan proyeksinya. Kedua, lapangan tanding yang tidak setara, pembangkit energi terbarukan dipaksa bersaing dengan pembangkit listrik tenaga batu bara dengan regulasi Domestic Market Obligation (DMO).

Ketiga, integrasi energi terbarukan variabel seperti PLTS dan PLTB menghadapi tantangan teknis dari kondisi sistem jaringan listrik saat ini. Keempat, beberapa peraturan seperti tingkat komponen dalam negeri (TKDN) belum sesuai dengan kondisi saat ini dan mempengaruhi pengembangan proyek energi terbarukan. Saat ini, pemerintah tengah melakukan pembaruan beberapa regulasi dan kebijakan pada sektor energi.

Dikembangkan Masif

Sementara itu, Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Hendra Iswahyudi, menyatakan untuk mengoptimalkan kondisi Indonesia dengan sumber daya energi terbarukan tersebar luas di seluruh negeri, diperlukan modernisasi jaringan grid yang smart dan terintegrasi secara nasional, untuk membangun infrastruktur transmisi dalam negeri yang tangguh dan andal.

"Mengacu Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang akan dikembangkan secara masif pada 2030 diikuti oleh pengembangan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) pada 2037," tegas Hendra.

Hendra memaparkan energi surya diprioritaskan untuk dikembangkan dengan didukung oleh biaya yang terus menurun. Rencana pengembangan PLTS terdiri dari pengembangan PLTS atap dengan target 2025 sebesar 3,61 giga watt (GW). Jakarta

Baca Juga: