JAKARTA - Transisi energi secara global tidak akan berjalan apabila tidak ada langkah ambisius dari negara-negara di dunia. Indonesia sebagai Presidensi G20 harus berinisiatif mengambil langkah konkret tersebut.

Direktur Eksekutif Institute for Essential and Service Reform (IESR), Fabby Fumiwa, di Jakarta, Kamis (26/5), mengatakan langkah yang perlu dilakukan ialah berupaya memangkas emisi di sektor energi melalui pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebelum tahun 2030.

"Kita perlu lakukan itu agar Indonesia bisa mencapai puncak emisi di 2030 atau lebih awal," kata Fabby.

Kalau tidak melakukan upaya mengurangi emsisi secara drastis dan emisi global mencapai puncak pada 2030, Indoneisa akan kehilangan momentum dan gagal mencapai target.

Untuk itu, negara-negara G20, yang bertanggung jawab atas 80 persen emisi global, termasuk Indonesia sebagai emitter ke-7 terbesar di dunia harus melakukan aksi yang ambisius untuk memangkas laju emisi gas rumah kaca (GRK).

Adil dan Berkelanjutan

Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan dukungan bagi transisi energi yang adil dan berkelanjutan dalam dialog bersama lebih dari 250 VIP G20 dan negara lainnya serta organisasi internasional yang difasilitasi oleh Informal Gathering of World Economic Leader (IGWEL), di Davos-Swiss.

"Ketahanan energi menjadi salah satu isu utama yang saat ini tengah menjadi pembahasan pemerintah," kata Airlangga dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/5).

Penyediaan pasokan energi, lanjutnya, memiliki peran penting dalam meningkatkan produktivitas pasar sebagai bahan bakar dalam kegiatan produksi sehingga mampu menggerakkan aktivitas perekonomian.

Transisi energi, jelasnya, menjadi salah satu fondasi dalam menjaga ketahanan energi berkelanjutan. Pemerintah telah menunjukkan komitmen dalam implementasi transisi energi, salah satunya melalui inisiasi transisi energi berkelanjutan sebagai salah satu dari tiga prioritas utama Presidensi G20 Indonesia tahun ini.

Selain itu, pemerintah juga berupaya melakukan diversifikasi berkelanjutan untuk menghindari kebergantungan pada satu komoditas energi saja di tengah ketidakpastian global.

Diversifikasi tersebut mencakup transisi hijau yaitu transisi energi dari batu bara ke energi bersih yang didukung dengan kebijakan dan pembiayaan yang memadai. Pemenuhan pembiayaan tersebut dilakukan melalui penerbitan obligasi hijau dan sukuk hijau, pembentukan platform blended finance, rencana penerapan carbon pricing, dan penciptaan taksonomi hijau.

"Dalam mendukung transisi energi yang adil dan berkelanjutan, Indonesia juga telah bekerja sama dengan Asian Development Bank meluncurkan Energy Transition Mechanism", ungkapnya.

Baca Juga: