JAKARTA - Salah satu strategi transisi energi yang efektif di sektor kelistrikan melalui elektrifikasi yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT). Strategi elektrifikasi penting untuk menciptakan lebih banyak permintaan terhadap energi listrik sehingga peluang pasar untuk penggunaan EBT di sektor kelistrikan jadi lebih terbuka.

"EBT di sektor kelistrikan saat ini sulit masuk ke masyarakat karena telanjur biasa menggunakan energi fosil," kata Kepala Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM), Sarjiya, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (30/11).

Lebih jauh, Sarjiya menjelaskan soal sulitnya masyarakat menerima EBT di sektor kelistrikan. Hal itu terjadi karena masyarakat telanjur biasa menggunakan energi fosil berupa BBM maupun LPG, di samping karena pasokan energi dari pembangkit listrik yang ada saat ini melebihi kapasitas dan tidak terserap optimal oleh masyarakat.

Seperti dikutip dari Antara, Sarjiya mengatakan elektrifikasi merupakan proses penggunaan energi listrik pada aktivitas-aktivitas yang sebelumnya tidak menggunakan listrik. Salah satu contohnya melalui transisi dari kendaraan berbahan bakar minyak menjadi kendaraan listrik atau penggunaan kompor listrik sebagai pengganti kompor gas.

Dalam upaya Indonesia bebas emisi dengan pemanfaatan sumber energi listrik, Chairperson Purnomo Yusgiantoro Center (PYC), Filda C Yusgiantoro, mengatakan realisasi kontribusi EBT dalam bauran energi nasional masih berada di bawah target yang ditetapkan berdasarkan rencana umum energi nasional (RUEN).

Menurut Filda, batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik masih mendominasi sebesar 66 persen, gas bumi 17 persen, dan EBT sebanyak 14 persen.

Sebelum pencapaian emisi nol karbon pada tahun 2060, diharapkan seluruh penyediaan listrik di Indonesia bisa bersumber dari EBT dan tidak lagi mengandalkan energi fosil sepenuhnya.

Kendaraan Listrik

Hal tersebut dapat dicapai melalui program percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), memensiunkan PLTU hingga 2060 dengan beberapa regulasi, membangun penampungan energi dari EBT, serta melakukan program pengembangan hidrogen sebagai sumber energi bersih untuk sistem kelistrikan.

Founder & Principal Consultant CGEI, Bambang Sriyono, menyampaikan suatu tandon energi, yang perlu didukung dengan kecanggihan teknologi, modal, waktu, dengan memanfaatkan sumber energi listrik yang minim atau bahkan tanpa emisi di samping, masih ada keterbatasan pada kapasitas dan keluaran energi yang tidak selalu konstan.

Strategi elektrifikasi disebutkan memiliki tantangan baik teknis maupun non-teknis, seperti isu sosial dan politik. Pada transisi kompor LPG menuju kompor listrik misalnya, perlu dibuat produk kompor listrik yang kenyamanannya minimal setara dengan kompor LPG saat ini, baik dari aspek biaya maupun waktu yang diperlukan untuk memasak.

"Isu sosial atau kebiasaan di masyarakat ini harus jadi salah satu hal yang dipertimbangkan dalam program elektrifikasi," katanya.

Selain itu, elektrifikasi juga berkaitan dengan isu energiy equity dan energy security. Pada isu energy equity, energi seharusnya bisa diakses oleh siapa pun dan di mana pun dengan harga yang terjangkau.

Sementara energy security berarti bagaimana sebuah bangsa bisa mandiri dalam mencukupi kebutuhan energi, sehingga bisa meminimalkan ketergantungan pasokan energi dari bangsa lain. Dengan demikian, transisi energi fosil menuju energi baru terbarukan dapat berjalan secara berkelanjutan.

Baca Juga: