Aspek kebijakan menjadi kunci untuk membantu mengurangi risiko dalam mengakselerasi transisi energi.

JAKARTA - Indonesia perlu belajar dari Denmark terkait transformasi energi. Dahulu, negara di Skandinavia ini sangat bergantung pada batu bara, tetapi kini sudah beralih ke energi bersih.

Ironisnya, meskipun potensi energi bersih di Tanah Air sangat besar, proses tranformasi di Indonesia terkesan lamban. Indikasi tersebut terlihat dari sedikitnya pembahasan transformasi energi ini di DPR RI.

Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea, and Asean, Lars Bo Larsen, mengatakan kira-kira 15 tahun lalu, batu bara bukan hanya menjadi tulang punggung energi Denmark, tetapi juga menjadi lima sumber energi yang dominan di Denmark.

"Jika dahulu penggunaan energi fosil mencapai 99 persen, kini telah jauh berkurang menjadi sembilan persen," ungkapnya dalam diskusi Pekan Diplomasi Iklim 2021 hari kedua bertema From Black to Green Energy Transition in Indonesia and EU, Kamis (14/10).

Menurutnya, penggunaan energi hijau juga akan memberikan banyak keuntungan untuk masyarakat Indonesia, seperti dalam hal efisiensi harga, serta mengurangi emisi. "Meski begitu, dibutuhkan strategi dalam mendesain transisi energi sehingga memberikan keuntungan bagi semua orang," tegas Larsen.

Danish Energy Agency Advisor, Alex Newcombe membagikan pengalaman Denmark menurunkan emisi. Dia sepakat dengan Duta Besar Lars Bo Larsen yang menyatakan negaranya butuh waktu 15 tahun untuk mengurangi emisi. "Emisi di Denmark menurun secara signifikan sejak 1999 hingga sekarang, dan penggunaan batu bara dan minyak bumi kini mendekati target yakni 77 persen," urai Alex.

Menurutnya, untuk Indonesia seharusnya tidak membutuhkan waktu selama itu lantaran sudah banyak sumber yang bisa dipelajari sekarang ini, baik dari pengalaman Denmark maupun negara lainnya. "Aspek kebijakan menjadi kunci untuk membantu mengurangi risiko dalam mengakselerasi transisi energi," paparnya.

Pembahasan Regulasi

Direktur Indonesia Parliamentary Center (IPC), Ahmad Hanafi, menegaskan dari pembahasan transisi energi masih sangat sedikit disebut. Dengan demikian, ini menjadi kendala tersendiri buat mempercepat pengesahan Rancangan Undang-undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT).

"Hingga saat ini masih sedikit pembahasan menyebut soal transisi energi di DPR, padahal bahasan itu penting karena butuh waktu, paradigma, dan lain sebagainya," kata dia.

Karena itu, dirinya pesimistis RUU EBT dapat disahkan DPR tahun ini, seperti rencana semula. Dia memperkriakan pengesahannya baru dapat dilaksanakan pada 2022. "Namun, kami mengapresiasi DPR dengan menghadirkan 27 pihak terkait sehingga dapat langsung mengoneksikan pendapatnya dengan DPR," ucapnya.

Anggota Komisi VII DPR RI, Dyah Roro Esti, menuturkan Indonesia sejak lama didominasi bahan bakar fosil karena beberapa alasan. Akibatnya, hingga kini kontribusi energi fosil cukup besar buat GDP Indonesia yaitu 8,4 persen. Selain itu, energi fosil dianggap lebih murah dan lebih kompetitif oleh pengusaha dalam menjalankan bisnisnya.

"Komisi VII DPR dan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) menyepakati untuk emisi gas Indonesia mencapai 26 persen yaitu dengan penggunaan transisi energi," ungkasnya.

Baca Juga: