Oleh Mohammad Sholihul Wafi

Dunia pendidikan nasional kembali berduka. Seorang guru kesenian SMA Negeri 1 Torjun, Sampang, Jatim, Ahmad Budi Cahyono, meninggal dunia setelah koma di RS Dr Soetomo Surabaya (1/2). Kematian Guru Budi disebabkan penganiayaan salah seorang muridnya berinisial MH di dalam kelas.

Tentu saja, kasus Guru Budi menjadi ironi sekaligus semakin mencoreng lembaga pendidikan dalam mendidik moral anak. Tak ayal, Azyumardi Azra (2002) sampai mengirimkan sinyal, sekolah sebagai pihak yang bertanggung jawab telah gagal dalam membentuk anak bangsa hingga memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti.

Faktanya, jelas banyak anak bangsa mengalami demoralisasi perilaku. Nilai-nilai moral kemanusiaan dialpakan dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Tak heran, bila kenakalan anak/remaja, pergaulan bebas, ketidakjujuran, dan laku brutal makin marak. Kemudian, rendahnya belas kasih, solidaritas, budaya sopan santun dan rasa hormat, juga terus meningkat. Di luar sekolah, banyak siswa terlibat tawuran antarpelajar, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan aksi-aksi anarkis lainnya.

Namun demikian, dengan masih banyaknya perilaku amoral murid, anggapan bahwa sekolah gagal mendidik siswa tidak sepenuhnya tepat. Hal ini karena penyempitan upaya pendidikan sekadar dalam lingkup penyekolahan (schooling). Selanjutnya, pendidikan diartikan sistem persekolahan belaka pernah dikoreksi Fuad Hassan (2004). Dia mengusulkan konsep pendidikan dalam arti luas melalui pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan. Secara prinsip, keluargalah yang memiliki tanggung jawab utama dalam pendidikan anak.

Lagi pula, pembangunan aspek karakter anak, keluarga sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional juga tidak bisa cuci tangan. Sebab selain pendidikan formal, ada juga pendidikan nonformal dan informal sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Pihak keluarga sebagai institusi pendidikan informal perlu berikhtiar mendidik anak - sebagaimana tujuan pendidikan nasional dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas Bab II Pasal 3 - agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Anak harus berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggung jawab.

Sejak Dini

"Kaisar Nero, seorang tiran pada zaman Romawi yang terkenal kejam, pernah menyuruh gurunya sendiri untuk bunuh diri dengan minum racun." Kisah tersebut seharusnya membuka mata kita, betapa tidak mungkin seorang manusia berani melakukan kekejaman, bila lingkungan primer yang pertama kali didapat manusia tidak mengajarkannya.

Sosialisasi primer seorang manusia berada di dalam keluarga, sedangkan lingkungan, teman sepermainan, sekolah, maupun media massa (internet, koran, majalah, buku, dan lain-lain) hanya agen sosialisasi sekunder bagi manusia. Setiap permasalahan dalam diri, memiliki keterkaitan erat dengan kondisi sosialisasi yang dijalani dalam keluarga (Faturrohman, 2018).

Nilai-nilai, norma-norma, dan keyakinan manusia dibangun dari keluarga. Keluargalah yang paling dominan membentuk sikap, perilaku, dan kepribadian manusia. Sebagaimana cerita Kaisar Nero tadi, kegilaannya tidak muncul tiba tiba. Ibunya pun juga seseorang yang haus kekuasaan. Tak heran kemudian, justru Nerolah membunuh ibunya sendiri.

Tugas mendidik bukan hanya kewajiban institusi pendidikan. Banyak orang tua yang berpikiran, mendidik hanya tugas sekolah. Kalau sudah di sekolah, ya tugas mereka merasa selesai. Kalau ada kesalahan anak, orang tua menyalahkan sekolah. Mereka tak mau menengok diri. Mereka tak mau memperbaiki cara asuh dalam keluarga.

RA Kartini (1879-1904) pernah mengatakan, "Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi keluarga di rumah juga harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah, kekuatan mendidik berasal." Dari sini, dapat dipahami bahwa kehadiran pendidikan keluarga sangat dibutuhkan.

Maka, ketika lembaga pendidikan belum bisa maksimal dalam menanamkan nilai-nilai moral anak, keluarga harus mengambil peran. Derasnya arus demoralisasi akibat gerak dinamika sosial budaya, teknologi komunikasi dan informasi membawa ekses luar biasa bagi anak. Maka, keluarga adalah agen untuk menciptakan kondisi ramah bagi penanaman nilai-nilai moral, kebiasaan dan perilaku anak dalam kehidupan pribadi maupun sosial masyarakat.

Orang tua sebagai pendidik pertama anak bertanggung jawab atas terbentuknya segala karakter. Perhatian orang tua harus mampu menyediakan pendidikan yang tepat membentuk karakter anak sejak dini. Sebab, karakter anak di masa mendatang cerminan pendidikan masa kecil.

Menurut Elizabeth B Hurlock (1978), anak mengalami tahapan perkembangan fisik, motorik, bicara, emosi, sosial, bermain, kreativitas, dan perkembangan moral pada usia sekitar 0-6 tahun. Ki Hajar Dewantara pun pernah mengatakan, keluarga sebagai tempat pertama anak-anak hidup dan berinteraksi berperan penting dalam proses tumbuh kembang, terutama pada masa-masa awal. Saat itu anak mudah menerima rangsang atau pengaruh lingkungan.

Jadi, pentingnya pendidikan dalam keluarga seyogianya menyadarkan orang tua betapa perilaku buruk seringkali akibat kondisi kehidupan keluarga yang tidak kondusif. Orang tua kerap lebih disibukkan urusan mencari materi, sehingga melupakan jalinan emosi dan komunikasi dengan anak. Padahal, sentuhan emosi dan komunikasi dapat menyebabkan anak merasakan kehangatan dan perhatian orang tua . Ini dapat mencegah anak melakukan pelarian ke hal-hal negatif.

Sebab itu, orang tua jangan hanya memperhatikan pendidikan anak dengan sekadar menanyakan prestasi belajar di sekolah yang sifatnya kuantitatif. Perlu kerja sama keluarga dan sekolah dalam mengembangkan kualitas anak seutuhnya. Hal ini karena karakter positif anak tidaklah muncul seketika. Justru pembentukan karakter positif anak perlu dilakukan sejak berusia dini. Dan itu sepenuhnya berada di tangan keluarga.

Penulis Peneliti Institute for Democration and Welfarism Yogyakarta

Baca Juga: