JAKARTA - Kawasan TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu kerap menjadi tempat tinggal bagi para pemulung yang mencari peruntungan di tempat itu. Lokasi keduanya di wilayah pinggiran Kota Bekasi. Sekitar 50 km dari ibukota Jakarta. Pemerintah pusat dan daerah diminta untuk menata dan memperbaiki pemukiman pemulung yang berada di sekitar TPST/TPA tersebut.

Menurut Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) Bagong Suyoto, kondisi pemukiman pemulung bisa dikategorikan sebagai pemukiman kumuh, pengap, bau bacin, tak layak huni. Luas tempat tinggal bervariasi, ada ukuran 4x6 m2, 3x5 m2, atau lebih kecil. Ruang yang relatif kecil berfungsi sebagai tempat istirahat, tidur, dapur.

"Penuh sesak saat berkumpul. Bila punya keluarga 3-4 anak dan satu menantu, tempat tidur hanya dipisahkan dengan kelambu. Alas kasus kebanyakan memungut dari TPST/TPA. Pakaian kotor bergelantungan di depan atau sela-sela ruangan, menimbulkan bau menyengat," kata Bagong dalam keterangan tertulisnya, Kamis (21/4).

Material rumah dari kayu, bambu, triplek, seng dan atapnya dari terpal atau asbes bekas yang ditindih ban-ban bekas agar tak tertiup angin. Lantai tanah dilapisi terpal, plastik atau karpet bekas. Biasanya tidak berjendela. Sanitasi sangat buruk. Pemulung menyebutnya gubuk. Gubuk ini dihuni bertahun-tahun bersama anak istrinya.

Materialnya sebagian dipungut dari TPST/TPA sampah dan mudah terbakar. Karena kondisi dan tata letaknya tidak karuan maka seringkali permukiman pemulung rawan terbakar, akibat korsleting arus pendek listrik, kompor meledak atau puntung rokok. Belakangan beberapa kali terjadi kasus kebakaran gubuk-gubuk pemulung pada Januari 2002, 15 Maret 2022, 18 April 2022.

"Permukiman gubuk yang kebakaran berbatasan dengana TPA akan sangat berbahaya, karena ada gunungan-gunung sampah dan gas metana mudah terbakar dan meledak. Juga memperburuk estetika lingkungan TPST/TPA yang sudah penuh dengan sampah," lanjutnya.

Pemukiman pemulung tidak mendapat pasokan air bersih, misal dari PDAM. Mereka memanfaatkan air sumur pantek kedalaman 11 meteran. MCK seadanya dan menyedihkan. Bahkan, sebagian mereka membuang hajat besar di saluran air, kali pinggiran TPST/TPA, lahan kosong, dll.

Kondisi buruk itu ditambah dengan kondisi lingkungan hidup yang tercemar akibat sampah. Merupakan daerah tercemar. Sekitar permukiman pemulung itu dipenuhi sampah pilahan dan sisa-sisanya. Selain udara kotor, bau, pun ditambah leachate yang mengalir ke sekitar gubuk-gubuk tersebut.

"Apalagi ketika musim hujan tiba, ada pemukiman pemulung terendam air hujan bercampur lindi dan sampah. Merupakan tempat berjangkitnya berbagai penyakit, seperti ISPA, disentri, kulit, dll.," kata Bagong yang juga Ketua Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Nasional (YPLHPI).

Sementara anak-anak mereka dibesarkan dalam kubangan sampah. Anak-anak bermain diantara lingkungan kotor, bau, penuh sampah dan air lindi, serta belatung dan lalat. Padahal anak-anak membutuhkan tempat bermain yang bersih, indah dan menyenangkan. Lingkungan tersebut berdampak pada perkembangan pisik dan psikologis anak dan perempuan hamil.

Dari segi letak pemukiman dan kesehatan tidak layak. Hal ini berpengaruh terhadap cara berpikir dan perilakunya. Terbiasa hidup di tempat kumuh dengan alasan ekonomi, mencari nafkah guna mempertahankan hidup. Namun, cara itu sama saja menistakan diri sebagai manusia. Peradaban merendahkan nilai-nilai kemanusiaan begitu tampak jelas.

"Adakah pihak yang peduli terhadap kondisi permukiman pemulung yang buruk? Misal, lembaga-lembaga selama ini yang mendampingi pemulung? Atau yang bangga beranggotakan ribuan pemulung? Adakah bos-bos pemulung dan perusahaan daur ulang yang concern memperbaiki permukiman pemulung. Otoritas resmi pemerintah pusat dan daerah?" katanya.

Pemerintah daerah beberapa kali mengatakan, bahwa pemulung itu bukan penduduk setempat, mereka pendatang dari luar daerah, seperti Medan, Padang, Palembang, Lampung, Banten, Depok, Bogor, Kawarang, Subang, Indramyu, Cirebon, Solo, Semarang, Surabaya, Madura, dll.

Sejumlah pemulung yang bermukim di gubuk-gubuk di kawasan TPA Bantargebang dan TPA Sumurbatu, setelah diteliti identitasnya, sebagian sudah pindah domisili, misalnya ber-KTP Sumurbatu, Ciketingudik, Cikiwul Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi. Bahkan, mereka mendapatkan uang bau/dana kompensasi DKI Jakarta. Sedang pemulung yang tinggal di wilayah Desa Serang Kecamatan Setu sudah ber-KTP wilayah tersebut. Artinya mereka berhak mendapat pelayanan permukiman layak huni dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Bagong mengatakan, Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI), Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) dan Sekolah Pelangi Semesta Alam sudah beberapa tahun lalu meminta pemerintah pusat dan daerah menata dan memperbaiki permukiman kumuh, pemukiman pemulung yang berada di sekitar TPST/TPA.

Pemerintah pusat dan dan daerah secara bersama-sama mewujudkan target Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030, yakni merealisasi permukiman yang layak dari berbagai aspek dan berkelanjutan. Sehingga dapat meningkatkan derajat dan peradaban orang miskin, pemulung dan kelompok rentan lainnya.

Ia menyarankan pemerintah pusat dan daerah melakukan program penataan dan pembangunan rumah tumbuh sehat. Agar semua rakyat Indonesia, yang miskin dan sangat miskin pun, termasuk pemulung dapat menikmati rumah yang layak huni. Rumahku istanaku. Dari rumah semua dimulai untuk membangun kehidupan bersama keluarga dalam mencapai kebahagiaan.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sejak 2017 telah menyebarkan informasi rencana aksi berkaitan dengan 17 Tujuan Global SDGs. Kota dan pemukiman yang berkelanjutan. Kemiskinan ekstrem seringkali berpusat di wilayah perkotaan, dan pemerintah kota berjuang mengakomodasi wilayah-wialyah ini. Menciptakan kota yang aman dan berkelanjutan berarti memastikan akses pada perumahan yang aman dan terjangkau, serta memperbaiki pemukiman kumuh.

Kehidupan kota yang berkelanjutan adalah satu dari 17 Tujuan Global yang tersusun dalam Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030. Tujuan SDGs ke 11.1, yakni pada tahun 2030, menjamin akses bagi semua terhadap perumahan yang layak, aman, terjangkau, dan pelayanan dasar, serta menata kawasan kumuh.

Tujuan SDGs ke 11.3, yakni pada tahun 2030, memperkuat urbanisasi yang inklusif dan berkelanjutan serta kapasitas partisipasi. Perencanaan penanganan permukiman yang berkelanjutan dan terinegrasi di semua negara.

Demikian pula Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menjamin target SDGs tahun 2030 tercapai. Sesuai target SDGs tahun 2030, Kementerian PUPR berkomitmen untuk mewujudkan Target SDGs, khususnya Goal ke-6, yaitu menjamin ketersedian air minum dan sanitasi bagi semua, dan Goals ke-11, yaitu mewujudakan perkotaan dan kawasan permukiman yang inklusif, aman, berketahanan dan berkelanjutan.

SDGs tersebut ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 59/2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Pembangunan Berkelanjutan, sesuai dengan mandat UU No. 1/2011 tentang Perumahan Kawasan Permukiman dan PP No. 14/2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

Syarat pemukiman sehat diantaranya, suhu udara: suhu udara nyaman antara 18-30°C; kelembaban udara 40-70%; gas S02 kurang dari 0,10 ppm/24 jam; pertukaran udara 5 kaki 3/menit/penghuni; gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam; gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3; ventilasi: luas lubang alamaiah yang permanen minimal 10% luas lantai.

Komisi WHO mengenai Kesehatan dan Lingkungan 2001 mengatakan, perumahan sehat merupakan konsep dari perumahan sebabagai faktor yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor resiko dan berorientasi pada lokasi, bangunan, kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan dan pemeliharaan umum dan lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur apakah rumah tersebut memiliki akses air bersih untuk minum dan sarana memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran manusia dan limbah lainnya.

Baca Juga: