oleh Antoni Putra

Perang melawan korupsi bakal semakin sulit. Sepanjang sejarahnya, lembaga antikorupsi selalu mendapat perlawanan sengit koruptor, sehingga tumbang. Indonesia pernah beberapa kali memiliki "lembaga" pemberantasan korupsi. Pada 1970, Presiden Soeharto membentuk Komisi Empat yang hanya berumur empat bulan.

Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dipimpin Hakim Agung, Adi Andojo Soetjipto, yang hanya berumur satu tahun. Kemudian, Gus Dur membentuk Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Sekali lagi, komisi tersebut hanya berumur empat tahun. Barulah pada 2002, Presiden Megawati membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

KPK beruntung karena masih bertahan, walau sepanjang perjalanannya selalu menerima serangan. Ini mulai dari kriminalisasi pimpinan, revisi Undang-Undang KPK, teror, dan kekerasan penyidik. Kini, eksistensi KPK benar-benar diuji melalui dua serangan beruntun: seleksi komisioner KPK dan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Pada 2 September 2019, Panitia Seleksi (Pansel) KPK menyerahkan 10 nama yang (katanya) telah disaring melalui serangkaian seleksi kepada Presiden Joko Widodo. Presiden pun kemudian mengeluarkan pernyataan yang menyetakkan tidak akan terburu-buru menyerahkan 10 nama tersebut ke DPR. Presiden bahkan menyatakan akan menerima masukan masyarakat.

Sayangnya, sehari berselang Presiden mengeluarkan pernyataan kontras, yakni menyatakan menerima usulan pansel. Padahal, publik telah telanjur berharap banyak pada Presiden. Sebab di antara 10 nama yang diajukan pansel, terdapat nama-nama bermasalah. Mereka terbukti melanggar kode etik saat bertugas di KPK, tidak taat melaporkan LHKPN sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UU KPK, dan sebagainya.

Belum usai kekecewaan publik, kenyataan pahit pun kembali didengar. KPK menerima serangan berupa Revisi UU KPK. Seluruh fraksi DPR sepakat merevisi UU KPK. Berdasarkan naskah RUU yang beredar di publik, terdapat banyak pasal berpotensi melumpuhkan KPK. Sialnya, Komisi III DPR bahkan berencana menjadikan sikap calon pimpinan KPK terhadap revisi UU KPK sebagai pertimbangan untuk dipilih. Dalam hal ini, upaya untuk melumpuhkan KPK sejatinya sudah sampai pada titik tertinggi.

Sebelumnya, ancaman pelemahan melalui revisi UU KPK sudah berulang terjadi. Sejak 2009, DPR dan pemerintah silih berganti menggagas revisi UU KPK. Hanya, upaya tersebut selalu kandas karena perlawanan warga. Dimulai 1 Desember 2009, revisi UU KPK masuk program legislasi nasional 2010-2014.

Oktober 2010, sejumlah anggota Komisi Hukum DPR mendesak revisi UU KPK segera dibahas, khususnya pasal penyadapan harus dihapus. Tahun 2012, Komisi Hukum DPR menyerahkan draf RUU KPK ke badan legilasi. Upaya ini kandas karena dikecam publik, sehingga Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyampaikan pidato penolakan revisi UU KPK pada 8 Oktober.

Pada 16 Juni 2015, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, minta legislasi segera merevisi UU KPK. Akan tetapi, usulan tersebut ditolak Presiden Jokowi, tiga hari berselang. Baru 4 (empat) hari revisi UU KPK ditolak Presiden, rencana revisi kembali disuarakan. Pada 23 Juni, melalui rapat paripurna, DPR menyetujui revisi terhadap UU KPK.

Isu revisi kali ini agak sedikit berbeda, karena adanya ketidakpastian yang memberi usulan. DPR mengatakan revisi merupakan inisiatif pemerintah, sedangkan pemerintah mengatakan bahwa revisi merupakan inisiatif DPR.

Tolak Revisi

Setelah meredup beberapa bulan, pada 16 November 2015, isu revisi UU KPK kembali diusulkan DPR yang kala itu dipimpin (koruptor) Setya Novanto. Dia mengatakan revisi UU KPK perlu masuk Prolegnas 2016. Hanya sehari berselang, pernyataan Ketua DPR tersebut disambut baik Menkumham yang kemudian melakukan pertemuan dengan badan legislasi untuk membahas Prolegnas 2016. Tetapi rapat ini batal memutuskan revisi UU KPK dilanjutkan atau tidak.

Pada 9 Februari 2017, DPR kembali sibuk menyosialisasikan Revisi UU KPK ke beberapa perguruan tinggi mulai dari Universitas Andalas, Padang. Dalam seminar "Urgensi Perubahan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi" kembali terlihat niat mengebiri kewenangan KPK.

Kewenangan KPK dalam menyadap dan membentuk dewan pengawas menjadi isu utama. Kini, upaya pelemahan melalui revisi UU KPK tersebut muncul lagi dan sudah disetujui paripurna DPR.

Melihat situasi saat ini, jelas keadaan tidak berpihak pada pemberantasan korupsi. Apalagi harapan agar Presiden Jokowi selektif dalam memilih calon komisioner sudah pupus. Saat ini, melalui dua serangan beruntun, eksistensi KPK sebagai lembaga antikorpsi yang dipercaya benar-benar diuji.

Dari serangkaian upaya pelemahan KPK, kali ini paling berbahaya. Kini, KPK sudah berada di bibir jurang kehancuran. Jika dua serangan beruntun tersebut berjalan mulus, tidak dapat dibayangkan KPK nantinya akan seperti apa. Tapi yang dapat dipastikan, KPK tidak akan segarang sekarang dalam memberantas korupsi. Sebab hanya tinggal fungsi pencegahan yang akan berjalan efektif.

Harapan satu-satunya Presiden segera mengeluarkan sikap menolak revisi UU KPK. Bila KPK lumpuh, tidak hanya akan berdampak buruk terhadap upaya pemberantasan korupsi, namun juga buruk terhadap sektor lain seperti investasi. Ini berhubungan dengan salah satu sektor yang banyak dikorupsi seperti perizinan.

Secara politik, bagi Presiden Jokowi memang tidak lagi diharuskan terlihat berpihak pada pemberantasan korupsi karena telah terpilih untuk periode kepemimpinan kedua. Artinya, pada pemilu berikutnya dia tidak lagi memiliki kesempatan nyapres. Baik buruknya kepemimpinan periode kedua tidak berpengaruh terhadap perjalanan karier politiknya.

Akan tetapi, secara moral seorang Kepala Negara wajib menyelamatkan KPK. Sebab saat ini KPK satu-satunya lembaga yang dapat diharapkan memberantas korupsi. Maka, menyelamatkan KPK merupakan perwujudan seorang Kepala Negara untuk melindungi hak-hak rakyat dari penjarahan oleh koruptor.

Kemudian, bila pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, KPK mundur atau lumpuhnya sistem pemberantasan korupsi, maka rezimnya akan dikenal sepanjang sejarah sebagai tidak berpihak pada pemberantasan korupsi. Kemudian patut pula dipahami, membentuk sebuah UU seharusnya didasarkan kebutuhan, bukan kepentingan. Saat ini, merevisi UU KPK hanyalah demi kepentingan semata. Penulis Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

Baca Juga: