JAKARTA - Goldman Sachs, pada Minggu (13/10), menaikkan proyeksinya untuk pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada 2024 dan 2025 dengan mempertimbangkan kebijakan-kebijakan pro pertumbuhan yang diambil oleh negara itu barubaru ini. Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok diproyeksi tumbuh 4,9 persen pada 2024, naik dari proyeksi sebelumnya di angka 4,7 persen. Goldman Sachs juga memperkirakan ekonomi Tiongkok akan tumbuh 4,7 persen tahun depan, naik dari perkiraan sebelumnya yaitu 4,3 persen.

"Putaran terakhir dari stimulus Tiongkok jelas mengindikasikan bahwa para pembuat kebijakan telah beralih ke manajemen kebijakan siklis dan meningkatkan fokus mereka pada perekonomian" kata para ekonom di Goldman Sachs. Pakar hubungan internasional dari Universitas Brawijaya, Malang, Aswin Ariyanto Azis, mengatak n Goldman Sachs menaikkan proyeksinya untuk pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada 2024 dan 2025 karena mempertimbangkan kebijakan-kebijakan pro pertumbuhan yang ditempuh negara itu baru-baru ini.

"Kebijakan Tiongkok yang pro pertumbuhan untuk mendorong perekonomian, antara lain adalah pelonggaran kebijakan moneter, dukungan terhadap sektor properti, dan peningkatan investasi infrastruktur," katanya. Tiongkok juga fokus pada pengembangan sektor teknologi melalui insentif, mendukung konsumsi domestik dengan berbagai subsidi, serta mereformasi pasar modal guna menarik investasi asing.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya, YB Suhartoko, mengatakan pertumbuhan ekonomi suatu negara dalam mencapai produk domestik bruto (PDB) yang tinggi, mengikuti pola ketika PDB-nya rendah ke tinggi sampai maksimum. Selanjutnya, ketika akan mencapai PDB natural atau kapasitas penuh pertumbuhannya mulai menurun, sampai pada pertumbuhan ekonomi naturalnya. Nampaknya, Tiongkok sudah mulai mendekati PDB kapasitas penuh, sehingga pertumbuhan ekonominya menurun. Untuk meningkatkan kapasitas ekonomi perlu investasi yang lebih besar dan terobosan-terobosan kebijakan di sisi produksi dan konsumsi.

Ekonomi Tidak Berkelanjutan

Sebelumnya, kolumnis untuk The Wall Street Journal, sekaligus akademisi di Hudson Institute, Walter Russell Mead, pada Senin (14/10), menulis bahwa Tiongkok telah jatuh dalam perangkapnya sendiri akibat bertumpu dalam model reformasi ekonomi yang tidak berkelanjutan.

Pilihan ekonomi yang diambil Tiongkok tampaknya akan mendorong penindasan yang lebih besar di dalam negeri dan meningkatkan ketegangan dengan negara tetangga dan mitra dagang di seluruh dunia. Laporan The Wall Street Journal baru-baru ini menyebutkan 90 juta unit perumahan di seluruh Tiongkok kosong karena populasinya menurun.

Pengembang real estat tidak dapat melayani pinjaman mereka. Pemerintah daerah, yang telah lama mendanai program mereka dengan penjualan tanah kepada pengembang, tenggelam dalam utang. "Keuntungan industri turun 17,8 persen dalam setahun terakhir. Pengangguran kaum muda terus meningkat," katanya. "Eropa dan AS merencanakan tarif baru terhadap banjir ekspor Tiongkok dengan harga murah yang diharapkan. Bank tidak ingin meminjamkan, dan orang asing tidak ingin berinvestasi."

Baca Juga: