SEOUL - KTT Artificial Intelligence di ranah militer yang berakhir pada hari Selasa (10/9), menghasilkan deklarasi tidak mengikat, yang melarang kecerdasan buatan, yang harus membuat keputusan penting terkait penggunaan senjata nuklir, namun harus dilakukan oleh manusia.

Para pejabat di pertemuan puncak Responsible AI in the Military Domain (REAIM) di Seoul, yang melibatkan hampir 100 negara termasuk Amerika Serikat, Tiongkok, dan Ukraina, mengadopsi "Cetak Biru untuk Aksi" setelah dua hari perundingan.

Dilansir oleh Fortune, perjanjian tersebut yang tidak mengikat secara hukum, dan tidak ditandatangani oleh Tiongkok, menyatakan bahwa sangat penting untuk "mempertahankan kontrol dan keterlibatan manusia dalam semua tindakan yang berkaitan dengan penggunaan senjata nuklir".

Ditambahkannya, kemampuan AI di ranah militer "harus diterapkan sesuai dengan hukum nasional dan internasional yang berlaku".

"Penerapan AI harus etis dan berpusat pada manusia."

Kedutaan Besar Tiongkok di Seoul tidak segera menanggapi permintaan komentar.

Secara militer, AI sudah digunakan untuk pengintaian, pengawasan serta analisis dan di masa depan dapat digunakan untuk memilih target secara otonom.

Rusia tidak diundang ke pertemuan puncak karena invasinya ke Ukraina.

Deklarasi itu tidak menguraikan sanksi atau hukuman lain apa yang akan diberikan jika terjadi pelanggaran.


Deklarasi tersebut mengakui bahwa masih ada jalan panjang yang harus ditempuh negara-negara untuk mengimbangi perkembangan AI di ranah militer, dengan mencatat bahwa mereka "perlu terlibat dalam diskusi lebih lanjut untuk kebijakan dan prosedur yang jelas".

KTT Seoul, yang diselenggarakan bersama oleh Inggris, Belanda, Singapura, dan Kenya, menyusul acara perdana yang diadakan di Den Haag pada Februari tahun lalu.

Ini mengklaim dirinya sebagai "platform AI terlengkap dan inklusif di ranah militer".

Baca Juga: