JAKARTA - Pemerintah Tiongkok kembali menegaskan komitmennya untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara Asia dalam isu perubahan iklim melalui kerja sama Selatan-Selatan maupun Green Belt and Road Initiative (BRI) atau Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra hijau.
"Tiongkok akan terus memperkuat konsep komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia dan mempercepat pencapaian target karbon ganda kami," kata Utusan Khusus Tiongkok untuk Perubahan Iklim, Liu Zhenmin, dalam acara Indonesia Net-Zero Summit 2024, di Jakarta, Sabtu (24/8).
Guna mencapai tujuan tersebut, Tiongkok telah meningkatkan ketersediaan energi terbarukan dengan kapasitas terpasang mendekati 52 persen pada akhir tahun lalu, untuk pertama kalinya melampaui kapasitas pembangkit energi fosil.
Seperti dikutip dari Antara, Konferensi Indonesia Net-Zero Summit 2024 digelar oleh organisasi wadah pemikir (think tank) Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dengan menghadirkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari pembuat kebijakan, para ahli, aktivis, perwalian beberapa negara mitra hingga selebritas.
Tiongkok sebelumnya telah menetapkan target emisi karbon ganda, yakni mencapai puncak emisi pada 2030 dan mencapai netralitas karbon pada 2060.
Sangat Krusial
Tiongkok bersedia memperkuat kerja sama dengan negara-negara di kawasan untuk mengatasi perubahan iklim. Lebih lanjut, Liu menyebut negara-negara Asia saat ini berada di posisi yang sangat krusial dalam tahapan transisi energi.
Liu menyarankan tiga pendekatan penting terkait perubahan iklim, yakni memperkuat multilateralisme, mendorong transisi energi yang adil, dan menjalin kerja sama teknologi.
Proteksionisme dan langkah-langkah unilateral, menurut Liu, berisiko menimbulkan hambatan signifikan, salah satunya berupa meningkatnya biaya teknologi untuk transisi energi.
Selain itu, Liu menegaskan pentingnya netralitas karbon global untuk kesejahteraan dan lingkungan hidup manusia. "Mencapai netralitas karbon global tidak hanya penting untuk kesejahteraan generasi sekarang, tetapi juga untuk lingkungan hidup generasi masa depan kita," katanya.
Dia memberikan tiga saran singkat untuk mencapai keseimbangan antara ketahanan energi dan transisi energi, yang merupakan tantangan yang dihadapi oleh negara-negara Asia, terutama negara berkembang.
Pertama, Liu melanjutkan, adalah menjunjung tinggi multilateralisme. "Perubahan iklim merupakan isu global yang memerlukan kerja sama terpadu antarnegara di seluruh dunia," ujar Liu.
Semua negara, tambah dia, harus mematuhi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Perjanjian Paris (Paris Agreement) sebagai kerangka hukum kerja sama internasional untuk mengatasi perubahan iklim.
Kedua, tambah Liu, mendorong transisi energi secara merata, tertib dan adil. "Adil, tertib, setara dan kerja sama adalah kata kunci untuk transisi energi global," kata Liu.
Menurut dia, transisi energi harus memastikan keamanan energi dan harus mencerminkan fleksibilitas, kemampuan ilmiah dan inklusivitas.
Transisi yang adil dan setara memerlukan pembangunan yang sesuai dengan kondisi nasional, tahap pembangunan, kemampuan, dan sumber daya yang dimiliki masing-masing negara. "Pihak negara maju harus memberikan dukungan kepada negara berkembang untuk membantunya mencapai posisi yang adil," ujar Liu.
Ketiga, mengatasi hambatan melalui kerja sama teknologi dan mengisi kesenjangan dalam tata kelola iklim global. "Membangun kembali kepercayaan antara negara-negara di belahan bumi utara dan selatan memerlukan kerja sama internasional yang sejati," tutur Liu.