BEIJING - Perdana Menteri Tiongkok, Li Keqiang, pada Rabu (1/3) menyatakan kesediaan negaranya berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah utang negara-negara berpendapatan rendah melalui kerangka kerja multilateral.

Kendati demikian, Tiongkok mengkrtitik kreditor bilateral terbesar di dunia yang tidak mau rugi dengan memberi pemotongan pinjaman ke negara-negara berpenghasilan rendah. Sementara, mereka meminta Beijing melakukannya dengan memberi perpanjangan pengembalian pinjaman.

Dalam percakapan telepon dengan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, Li mengatakan bahwa menyelesaikan masalah utang negara-negara berpenghasilan rendah membutuhkan partisipasi semua kreditur seperti dinyatakan Dewan Negara atau kabinet.

Tiongkok juga mendesak negara-negara Kelompok 20 (G20) bulan lalu untuk melakukan analisis yang adil, objektif, dan mendalam tentang penyebab masalah utang global karena seruan kepada pemberi pinjaman untuk membantu negara-negara miskin yang sarat utang dengan menerima kerugian besar atas pinjaman mereka.

Tiongkok adalah pemberi pinjaman utama bagi negara-negara dengan utang tinggi, seperti Ghana dan Zambia.

Zambia tercatat berutang kepada Beijing hampir 6 miliar dollar AS dari total utang luar negeri sebesar 17 miliar dolar AS pada akhir tahun 2021, menurut data pemerintah, sementara Ghana berutang kepada Tiongkok 1,7 miliar dollar AS, menurut International Institute of Finance, sebuah asosiasi perdagangan jasa keuangan yang berfokus pada pasar negara berkembang.

Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Brawijaya, Malang, Adhi Cahya Fahadayna yang diminta pendapatnya, mengatakan kesediaan Beijing membantu masalah utang negara-negara berpendapatan rendah merupakan salah satu strategi Tiongkok untuk mendominasi ekonomi dunia.

"Tiongkok punya pemahaman sendiri mengenai geopolitik dan dia ingin membangun dominasi dan kekuatan di kawasan dengan pendekatan yang berbeda dengan Barat," kata Adhi.

Geopolitik dalam perspektif Tiongkok jelasnya lebih mengedepankan pendekatan ekonomi, seperti utang, investasi infrastruktur, dan ekspansi bisnis, sehingga kekuatan Tiongkok dapat dibangun dengan baik tanpa harus menciptakan ancaman atau konflik. "Cara-cara tersebut efektif untuk mengendalikan negara-negara yang memiliki kerja sama ekonomi intensif dengan Tiongkok," papar Adhi.

Secara terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko mengatakan, penyelesaian utang secara multilateral oleh negara kreditor relatif lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan bilateral, karena beban penyelesaian utang terbagi ke dalam beberapa negara. Namun demikian lanjutnya, yang membutuhkan waktu adalah proses negosiasi baik di antara debiturkarena akan diberikan persyaratan baru terhadap utang mereka.

Baca Juga: