Penggunaan utang dan hasil yang dicapai mesti diungkapkan lebih transparan. Rekayasa akuntansi pembukuan utang bisa mendistorsi kondisi yang sebenarnya.

JAKARTA - Pemerintah diminta menjalankan transparansi fiskal yang lebih baik sehingga bisa menjelaskan kepada rakyat alokasi anggaran negara, yang banyak berasal dari utang, beserta hasil yang telah dicapai.

Sebab, selama ini utang negara kian membengkak hingga membebani keuangan negara, dan anggaran kesejahteraan rakyat dilaporkan terus meningkat, namun belum terlihat hasil yang nyata bagi rakyat.

Ketimpangan dan kemiskinan belum mampu diperbaiki secara signifikan. Pengamat keuangan, Ahmad Iskandar, mengatakan salah satu bukti utang bertambah, namun output atau hasil yang dicapai tidak optimal adalah ketimpangan yang melebar.

"Jadi sah-sah saja kita bertanya, ke mana uang dari hasil utang? Ini juga merupakan skandal karena APBN Indonesia tak bisa lagi membantu rakyatnya untuk program sosial," kata dia saat dihubungi, Senin (21/8).

Iskandar mengungkapkan secara khusus Bank Dunia pada 2015 mencatat laju peningkatan ketimpangan ekonomi di Indonesia paling tinggi di Asia Timur. Bahkan, dalam distribusi aset lebih memprihatinkan, yaitu rasio gini penguasaan lahan mencapai angka 0,72.

Angka ini lebih tinggi daripada rasio gini pendapatan. "Nah, kondisi ketimpangan yang semakin parah ini kalau kita bedah merupakan akibat langsung model kebijakan pemerintah yang tidak berubah sejak dulu," jelas dia.

Sebelumnya, sejumlah kalangan menilai meskipun anggaran penanggulangan kemiskinan dalam APBN terus meningkat setiap tahun, namun penggunaan anggaran tersebut belum efektif untuk menekan kemiskinan dan ketimpangan.

"Efektivitasnya tidak sebesar anggaran yang dikeluarkan," kata ekonom Indef, Achmad Heri Firdaus. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan per Maret 2017 jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah 6.900 orang mencapai 27,77 juta orang dibandingkan dengan September 2016.

Angka itu sekitar 10,64 persen dari total penduduk. Sedangkan ketimpangan di Indonesia, diukur dalam gini ratio per Maret 2017 sebesar 0,393 atau relatif stagnan dibandingkan gini ratio pada September 2016 yang mencapai 0,394.

Menyinggung soal manajemen utang, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Mudrajad Kuncoro, pemerintah mesti mampu menjelaskan kualitas penggunaan utang itu sebab pada dasarnya utang dinilai terutama dari bagaimana secara maksimal mampu mendukung programprogram prioritas pemerintah.

"Nah, yang mesti dijelaskan itu prioritasnya apa kok sampai utang terus? Bagaimana utang mampu membantu mengejar prioritas-prioritas itu. Pemerataan, bagaimana bisa merata? Infrastruktur bagaimana bisa menopang ekonomi? Kita butuh pemerintah terbuka dengan evaluasi atas rencananya sendiri," papar Mudrajad.

Secara terpisah, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengungkapkan pemerintah sedang berupaya menyehatkan APBN.

Salah satu caranya yaitu dengan meminimalisir besaran utang yang kini hampir mencapai 4.000 triliun rupiah itu. "Tapi, kami enggak bisa ngerem (utang) secara medadak," ujar dia. Menurut Sri Mulyani, upaya menyehatkan APBN bisa dilihat dalam RAPBN 2018. Pemerintah menuturkan anggaran 2018 disusun dengan optimistis, namun tetap hati-hati.

Efek Bola Salju

Menanggapi hal itu, Iskandar mengapresiasi kejujuran pemerintah yang tidak bisa menghentikan utang secara mendadak. Namun, pemerintah juga mesti terbuka langkah luar biasa apa yang akan dilakukan untuk mengurangi utang itu. "Sebab, utang juga tidak bisa didiamkan saja seperti biasa. Makin lama makin bengkak dan menimbulkan efek bola salju," tukas dia.

Apalagi, lanjut dia, belakangan ini santer muncul kabar seolah- olah pemerintahan saat ini menarik utang baru yang sangat besar dalam dua tahun terakhir. Padahal, penarikan utang saat ini juga disebabkan kebutuhan untuk menutup kewajiban bunga utang lama pemerintahan sebelumnya yang sangat besar.

"Tidak tertutup kemungkinan juga terjadi differed booking, sehingga utang yang dipakai tahun sebelumnya baru dibukukan sekarang. Ini yang menyebabkan seolah-olah pemerintah sekarang menarik utang yang lebih besar," jelas Iskandar.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan dalam ilmu akuntansi, praktik differed booking kerap dilakukan untuk menjaga defisit tidak melebihi batas yang ditentukan oleh UU Keuangan Negara atau seakanakan tidak bergantung pada utang. Padahal, ada penerbitan utang baru. "Di satu sisi, ini sebenarnya pemberian informasi yang tidak transparan pada publik," kata Bhima. YK/SB/ahm/WP

Baca Juga: