JAKARTA-Industri Asuransi merupakan salah satu sub sektor industri jasa keuangan yang yang cukup dikenal oleh masyarakat. Namun, dibandingkan industri perbankan yang sudah sangat familiar dan dengan tingkat penetrasi yang sudah cukup besar, perkembangan industri asuransi secara nasional masih jauh panggang dari api.

Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK, Kristianti Puji Rahayu mengatakan tingkat penetrasi industri asuransi di Tanah Air pada 2020 masih tertahan di level 2,92 persen. Catatan tersebut jauh di bawah rata-rata penetrasi asuransi di negara-negara Asia Tenggara yang sebesar tujuh persen, atau juga rata-rata penetrasi di level dunia yang mencapai 7,2 persen.

"Tak hanya (kalah dengan nilai) rata-rata, kita juga masih kalah dengan penetrasi di Malaysia yang pada periode yang sama tercatat sebesar 4,72 persen dan juga Thailand yang sebesar 4,99 persen. Apalagi kalau kita compared dengan Singapura yang masyarakatnya relatif lebih maju, sehingga penetrasi asuransi di sana per tahun 2020 lalu mencapai sembilan persen," ujar Kristianti dalam diskusi literasi keuangan digital, pekan lalutu .

Dia menyatakan data masih minimnya penetrasi asuransi di Indonesia tersebut bagaikan dua sisi mata uang yang dapat dimaknai sebagai tantangan sekaligus peluang yang harus dijawab oleh para pelaku industri asuransi nasional.

Karenanya, dirinya berharap agar seluruh pihak-pihak terkait di industri asuransi dalam negeri dapat saling bersinergi, berkoordinasi dan berkolaborasi untuk bersama-sama mendorong perkembangan sekaligus penetrasi industri asuransi ke depan.

"Apabila ingin maju dan sukses, kita harus berjalan bersama-sama," tutur Kristianti.

Ajakan untuk saling berkolaborasi ini, menurut Kristianti, sangat penting lantaran salah satu penghambat utama dari perkembangan penetrasi asuransi adalah masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terkait produk asuransi.

Pantas saja bila kemudian OJK juga mencatat jumlah aduan masyarakat terkait masalah perasuransian per Juni 2021 mencapai 2.600 kasus pengaduan. Sebuah angka yang tidak sedikit untuk dapat dinafikan begitu saja.

Kristiani pun menyatakan untuk meminimalisasi kasus aduan di industri asuransi dan juga upaya edukasi di masyarakat tersebut tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri dan parsial, melainkan harus dijalankan secara komprehensif oleh sebanyak-banyaknya pihak yang terlibat.

"Misal soal aduan tentang agen penjual asuransi yang saat menawarkan ke masyarakat tidak diikuti dengan penjelasan yang lengkap. Atau calon calon pemegang polis ini tidak diberi waktu yang cukup untuk membaca term of condition yang ada. Untuk kasus-kasus semacam ini kita tentu perlu komitmen dari para agen penjual dan juga perusahaan asuransinya bisa ikut mengedukasi ke masyarakat. Jadi kita semua, para pelaku usahanya, regulatornya, masyarakatnya sendiri, memang harus saling mendukung dan berjalan bersama untuk kemajuan industri asuransi ke depan," tegas Kristianti.

Selain dibuka secara langsung oleh pihak OJK, diskusi virtual ini juga turut menghadirkan CEO BRI Insurance Fankar Umran, Direktur Keuangan Avrist Assurance Ian Ferdinan Natapradja, Presiden Direktur PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG Tbk Wianto Chen, CEO PasarPolis Cleosent Randing dan Ketua Bidang Marketing & Komunikasi Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Wiroyo Karsono sebagai para pembicara. Diskusi sendiri dipandu dan dimoderatori oleh Ketua Umum Asosiasi Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (APARI) Bambang Suseno.

Baca Juga: