Hemofilia adalah gangguan ketika darah tidak membeku secara normal, sehingga penyandang penyakit ini hidup tidak menjadi mudah layaknya orang normal yang bebas beraktivitas karena benturan maupun luka yang didapat bisa menjadi sangat 'berbahaya'.

Pada 17 April 2019 adalah Hari Hemofilia Dunia ke-29. Pada momen itu, World Federation of Haemophilia (WFH) atau Federasi Dunia Hemofilia mulai memfokuskan diri pada upaya identifikasi dan diagnosis pasien baru dengan masalah gangguan perdarahan.

Misi itu menjadi penting karena penyandang penyakit langka ini perlu diidentifikasi guna memperoleh penanganan yang tepat sekaligus sesegera mungkin. Karena itu upaya identifikasi dan diagnosis merupakan langkah pertama yang perlu menjadi prioritas, agar mereka dapat memperoleh pengobatan dan memiliki kualitas hidup yang layak.

Untuk kasus di Indonesia sendiri, menurut data Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) menyebutkan, penyandang hemofilia yang tercatat baru 2.029 orang. Sedangkan menurut statistik setidaknya terdapat 20-25.000 penderita hemofilia di Indonesia dari total populasi penduduk atau sekitar 26.000 jiwa.

"Berarti, hanya 10 persen yang sudah terdiagnosis dan mendapat pengobatan. Masih banyak kasus diluar catatan itu yang harus ditemukan dan segera diobati," ujar Ketua HMHI, Profesor Djajadiman Gatot, dalam peluncuran aplikasi Hemofilia Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Djajadiman menceritakan hemofilia ialah kelainan pembekuan darah yang bersifat diturunkan. Namun, ada juga yang timbul karena mutasi gen. Akibatnya, penyandang hemofilia itu sangat mudah mengalami pendarahan apabila terbentur ataupun terjatuh. "Bila tidak ditangani, dapat menyebabkan kerusakan sendi sampai memicu kecacatan, bahkan jika terjadi pendarahan di kepala dapat mengancam nyawa," terangnya.

Kabar baiknya saat ini pengobatan hemofilia sudah banyak kemajuan. Tidak lagi melalui transfusi darah ketika mengalami perdarahan, melainkan sudah tersedia plasma dan obat-obatan yang lebih efektif sehingga penanganan lebih ringkas dan cepat. "Tapi masalahnya, harga obat sangat mahal. Ditambah belum semua rumah sakit serta tenaga kesehatan mampu melakukan diagnosis dengan baik," ujarnya.

Lalu pembiayaan BPJS juga tidak menanggung secara menyeluruh untuk penyakit langka ini. Bisa dibayangkan pasien hemofilia tipe B misalnya, dalam sekali penanganan membutuhkan satu vial yang harganya menyentuh 5-6 juta rupiah. "Penyandang hemophilia anak-anak itu butuh satu vial sehari. Sedangkan orang dewasa, butuh dua vial dalam sehari," terangnya.

Permasalahan penyakit ini pun akan tambah semrawut apabila ada faktor penyulit seperti inhibitor atau antibodi yang dihasilkan tubuh untuk melenyapkan benda asing. Mereka yang mengidap hemofilia biasanya membentuk sebuah 'tameng' yang menghalau obat untuk masuk sehingga faktor pembekuan darah menjadi kurang efektif.

"Untuk pasien inhibitor dengan pendarahan berat biayanya bisa mencapai miliaran rupiah. Sejak 2014 hingga 2019, BPJS Kesehatan harus mengeluarkan Rp174,75 miliar untuk pengobatan hemofilia. Memang hemofilia ini di negara maju pun menjadi beban ekonomi cukup besar," sambungnya.

Skema Pendataan Digital

Untuk meredam persoalan ini, salah satu cara terbaik ialah melalui pendataan, menyeluruh bagi penyandang hemophilia. Itu sebabnya, HMHI dalam menyambut Hari Hemofilia Dunia meluncurkan aplikasi bernama Hemofilia Indonesia berbasis Android.

Ini dilakukan untuk memudahkan pasien hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya tercatat dalam sistem registrasi nasional. "Setelah data diverifikasi tim HMHI, pasien akan memperoleh Kartu Identitas, yang bermanfaat bagi pasien sebagai identitas diri dan masalah gangguan perdarahan yang disandangnya, sehingga jika pasien mengalami kejadian gawat darurat di manapun dia berada, dokter atau rumah sakit yang menangani bisa langsung memperoleh informasi mengenai penyakitnya," ujar Djajadiman.

Penunjang data dalam aplikasi ini juga dinilai cukup maksimal, karena tidak hanya untuk 'mendata' melainkan juga ada fitur data medis, catatan pendarahan pasien, forum dan kabar terkini terkait pengobatan hemofilia. Ini penting, karena untuk menjaring pasien baru hemophilia di kemudian hari.

Pada kesempatan sama Novie Amelia Chozie, dokter spesialis anak, sekaligus hematolog-onkolog, mengatakan, soal pendataan penyandang hemofilia sebenarnya sudah dilakukan pertama kali pada 1998, dan berhasil mendata 120 orang dengan Hemofilia yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Hanya saja kelemahan data yang terjaring dirasa kurang akurat dan tidak seragam, lalu masih dilakukan dengan cara konvensional berbasis kertas.

"Sekarang semua orang pasti menggenggam ponsel android, jadi segala aktivitas bisa dengan mudah dicatat. Yang menarik juga aplikasi ini memiliki tujuan untuk meningkatkan harapan hidup pasien hemofilia. Kita berharap bisa memberi sumbangan data yang penting. Misalnya berapa banyak konsentrat yang harus dipenuhi pemerintah. Lalu di daerah mana saja yang belum punya tenaga ahli. Itu semua kita harap bisa dijawab lewat data yang baik. Ini penting dalam penyusunan perencanaan dan pengambil kebijakan di negara kita," ujar Amelia.

Kehadiran aplikasi ini diharapkan dapat membantu Pemerintah dan pemangku kepentingan Iainnya memperoleh data akurat, sebagai langkah awal upaya penanganan efektif bagi pasien dengan gangguan perdarahan di Indonesia. ima/R-1

Mengedukasi Masyarakat

Pengetahuan masyarakat terhadap hemofilia bisa dikatakan masih rendah. Padahal tanda-tandanya sudah bisa dilihat sejak anak masih kecil atau mulai belajar duduk, merangkak, dan berjalan.

Ketua Unit Kerja Hematologi dan Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Bambang Sudarmanto mengimbau agar kesadaran penuh terhadap penyakit ini harus sudah dimiliki para tenaga ahli dan orang tua.

"Yang tak kalah penting saat ini kesadaran akan hemofilia ini harus dideteksi sejak bayi. Misal persalinan normal tapi kepala bayi benjol itu harus diwaspadai. Atau ketika memotong tali pusar tapi berdarahnya lama harus dicurigai hemofilia," ujarnya.

Lalu orangtua perlu waspada jika melihat anaknya mengalami lebam atau memar tanpa sebab jelas. Atau tanda tersebut muncul ketika anak terkena benturan pelan. Tanda lainnya adalah perdarahan yang tak kunjung usai cabut gigi, dicubit, atau tergores.

Selain itu pada fase perkembangan lainnya, jika anak mulai belajar duduk, merangkak dan bagian bokong serta sendi lututnya bengkak juga harus dicurigai mengarah pada hemofilia. Pasalnya hal itu menunjukkan adanya pendarahan di bagian dalam kulit bayi.

Cara lain untuk mewaspadai penyakit ini dengan mencari tahu sejarah penyandang hemofilia dalam rantai keluarga, apakah ada keluarga yang mengidap penyakit hemofilia atau yang pendarahannya sulit berhenti sebelumnya?

Hal-hal tersebut, sangat perlu dilakukan supaya jika terinfeksi hemofilia, anak bisa segera ditangani. Apabila tidak, akan berlarut bahkan memperburuk kondisinya hingga dewasa. Penanganannya semakin sulit.

"Sebetulnya yang utama, bagaimana kita baik profesional maupun pemerintah bisa membangun kewaspadaan untuk menyadarkan publik kalau ada penyakit hemofilia," tutupnya. ima/R-1

Baca Juga: