JAKARTA - Perekonomian nasional ke depan harus memiliki kewaspadaan tinggi dan bersiap menghadapi potensi stagflasi global. Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, di Jakarta, akhir pekan lalu, mengingatkan perlunya meningkatkan kewaspadaan itu karena memasuki kuartal terakhir 2022, perekonomian global masih terus menghadapi hantaman perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Sejumlah lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan berada pada rentang 2,8-3,2 persen. Bahkan, pada tahun depan dipangkas tajam dari semula diharapkan pada rentang 2,9 persen sampai 3,3 persen menjadi hanya 2,2 persen sampai 2,7 persen.

Pemangkasan proyeksi itu dengan melihat kemampuan perekonomian global untuk pulih dari pandemi Covid-19, ditambah tantangan terkini berupa lonjakan inflasi, pengetatan likuiditas dan suku bunga, stagflasi, gejolak geopolitik, climate change, serta krisis sektor energi, pangan, dan finansial.

Ketidakpastian yang tinggi akibat kondisi itu menempatkan perekonomian global berada dalam pusaran badai yang sempurna atau the perfect storm sehingga mengakibatkan munculnya ancaman resesi global pada 2023.

Sinyal pelemahan ekonomi global tecermin dari kembali melambatnya Purchasing Managers' Index (PMI) global yang berada di level kontraksi 48,8 pada November 2022 setelah pada bulan sebelumnya tercatat 49,9.

Banyak negara yang secara teknis telah memasuki level kontraksi PMI sejak Juli 2022 bahkan hingga November seperti Tiongkok 49,4, Inggris 46,5, Amerika Serikat 47,7, Jepang 49, dan Jerman 46,2.

Meski tekanan pada sisi harga mulai mereda, penurunan kinerja manufaktur secara global merupakan imbas dari pelemahan indeks output serta kekhawatiran sektor manufaktur terhadap prospek perekonomian ke depan.

Sementara terjadinya supply disruption terutama pada sektor energi dan pangan akibat pandemi dan gejolak geopolitik telah membuat tingkat inflasi global merangkak naik pada level tinggi. "Second round effect tingkat inflasi yang tinggi tersebut akan dirasakan pada stabilisasi neraca perdagangan akibat penurunan permintaan ekspor," kata Airlangga.

Berbagai tekanan tersebut akan membawa potensi stagflasi serta tantangan lain seperti pelemahan pasar tenaga kerja global karena penurunan upah riil serta permintaan kredit.

Logistik Kargo Turun

Ekonom Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan risiko stagflasi cukup nyata karena dibarengi dengan menurunnya aktivitas logistik kargo yang ditunjukkan oleh Baltic Dry Index yang turun -57 persen dalam satu tahun terakhir.

"Artinya, permintaan barang global secara alami berkontraksi. Kewaspadaan juga perlu diantisipasi dengan menambah bantalan fiskal khususnya perluasan bantuan subsidi upah kepada pekerja yang ada di sektor berorientasi ekspor," jelas Bhima.

Selain itu, perlu mendorong penetrasi pasar domestik. Kuncinya ada di pasar dalam negeri dengan jumlah usia produktif tembus 190 juta orang. Pemerintah juga perlu melindungi pasar dalam negeri dari serbuan impor karena negara lain juga mengincar Indonesia.

Baca Juga: