OLEH DR RITA DIANA, SSI, MSI
Salah satu indikator penting melihat tingkat kesejahteraan suatu bangsa adalah kesehatan ibu dan bayi. WHO, UNICEF, dan UNFP sepakat, "Hak atas kehidupan adalah hak asasi manusia yang mendasar. Bagi perempuan, hak ini termasuk akses terhadap fasilitas yang menjamin keselamatan saat kehamilan dan kelahiran," (WHO 1999).
Indonesia berpenduduk terbesar keempat dunia (260 juta lebih). Kondisi geografis dengan banyak daerah terpencil, terpisah antarrentang lautan dan daratan, membuat pemerataan kesejahteraan sangat sulit. Tambah lagi faktor-faktor sosial budaya yang bineka merupakan tantangan dalam mengimplementasikan strategi-strategi perbaikan kesejahteraan sosial di seluruh pelosok negeri.
Kesehatan ibu dan bayi menjadi tolok ukur penting dalam menandai keberhasilan pembangunan. Pada akhir 2015, WHO secara spesifik menargetkan penurunan angka kematian ibu (AKI) ke tingkat 70 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi baru lahir (AKN) ke angka 12 per 1.000 kelahiran hidup pada 2030.
Walaupun persalinan dibantu tenaga kesehatan terlatih telah menjangkau lebih dari 80 persen penduduk, AKI dan AKN masih persoalan penting. Menurut UNICEF, 7.000 bayi baru lahir, meninggal setiap hari pada tahun 2017. Sebagian besar dari kondisi yang dapat dicegah dan diobati, termasuk infeksi. UNICEF menyerukan kepada pemerintah dan pihak berwenang untuk memastikan setiap ibu dan bayi memiliki akses keperawatan berkualitas.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan, kenaikan AKI dari 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada 2007 menjadi 359 per 100.000 pada 2012 (SDKI 2012). Hanya menurun tipis menjadi 305 per 100.000 pada 2015 (SUPAS 2015). Walaupun AKN tampak menurun dari 19 menjadi 14 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada 2015, masih lebih tinggi dari Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Lagi pula, AKN menunjukkan, kondisi yang lebih memprihatinkan dari AKI karena tidak tersedianya data lebih lengkap dibanding AKI.
Persalinan di rumah dengan bantuan tenaga nonkesehatan ataupun tenaga kesehatan tetap meningkatkan risiko kematian maupun morbiditas bagi ibu hamil dan bayi baru lahir. Sandall (2016) dalam penelitiannya menunjukkan, persalinan di rumah cenderung meningkatkan risiko kematian ibu hamil dan bayi baru lahir daripada di rumah sakit.
Jumlah persalinan di rumah dengan bantuan dukun bayi juga masih cukup signifikan, 17,3 persen. Meski data Susenas Maret 2018 menunjukkan sebagian besar persalinan telah dilakukan di fasilitas kesehatan, 82,7 persen, disparitasnya masih tinggi. Dibanding antartipe daerah terlihat persalinan pada fasilitas kesehatan di perkotaan jauh lebih tinggi dibanding perdesaan (91,9 persen berbanding 72,1 persen).
Disparitas status kesehatan tiap daerah disebabkan beberapa faktor, di antaranya tingkat pendidikan tidak merata, khususnya bagi wanita. Kemudian, akses dan kualitas pelayanan kesehatan belum merata di tiap daerah. Contoh di daerah rural masih kesulitan mendapat pelayanan kesehatan.
Meningkatkan akses layanan kesehatan, kualitas, dan keadilan dalam kesehatan ibu dan bayi baru, menjadi kunci mengurangi kematian keduanya. Hambatan keuangan membatasi akses layanan kesehatan berkualitas (Titaley, dkk, 2010). Sayangnya, dengan belanja kesehatan 3,1 persen PDB, Indonesia dibanding negara-negara berpendapatan sama, memiliki tingkat pengeluaran kesehatan perkapita terendah (OECD, 2016).
Menanggapi masalah ekonomi dalam mengakses layanan kesehatan, pemerintah pusat dan daerah sampai batas tertentu beberapa dekade terakhir telah menyediakan berbagai sarana finansial perlindungan kesehatan kelompok tertentu, di antaranya Askes, Jamsostek, Program Keluarga Harapan, Jamkesmas, dan JKN sebagai program asuransi kesehatan nasional.
Mengkhawatirkan
Meski Indonesia telah melakukan upaya substansial memperbaiki kesehatan ibu dan bayi baru lahir, angka kematian masih mengkhawatirkan karena upaya penurunan kematian tidak efektif. Selain itu, tidak tersedianya informasi yang relevan dengan faktor penentu AKI serta AKN. Di antara faktor-faktor yang telah terselidiki, kesenjangan pelayanan kesehatan dan akses perawatan kesehatan berkualitas, terutama kelompok orang miskin, kurang berpendidikan, dan perdesaan.
Dengan populasi yang terus bertambah, penyediaan pelayanan kesehatan berkualitas bergantung pada ketersediaan tenaga kesehatan terlatih. Ini melalui penyebaran akses pendidikan dan sistem kesehatan yang lebih terintegrasi. Hal itu termasuk koordinasi dan pemantauan kondisi kesehatan, serta penyebaran informasi pendidikan terkait. Misalnya, di kalangan remaja, pengetahuan dan pendidikan kesehatan reproduksi tidak memadai berakibat angka kehamilan dan tingkat anemia tinggi.
Begitu pula, pelayanan pascapersalinan dan keluarga berencana belum optimal. Risikonya, terjadi kehamilan selanjutnya dalam jarak waktu yang pendek. Pemantauan kondisi kesehatan selama kehamilan belum dilaksanakan sepenuhnya.
Sementara itu, koordinasi antarprogram masih belum optimal. Contoh, dalam penyediaan logistik bagi deteksi awal dan pencegahan penyakit komplikasi kehamilan seperti malaria, tuberkulosis, hepatitis B, diabetes melitus, jantung, dan obesitas. Tantangan lain, ada pada manajemen progam kesehatan maternal, terutama di daerah dengan cakupan pelayanan kesehatan yang rendah bagi ibu dan bayi yang umumnya keterbatasan SDM dan infrastruktur.
Pembiayaan program kesehatan era desentralisasi masih menjadi isu prioritas. Sistem informasi kesehatan dan ketersediaan obat-obatan serta peralatan masih perlu ditingkatkan agar dapat menyokong upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir secara efektif. Program pemantauan dan evaluasi yang transparan perlu dibentuk untuk mendukung proses perencanaan serta pengembangan program.
Perundang-undangan yang tidak mendukung juga membutuhkan perhatian lebih seperti UU Perkawinan No 1/1974 yang menyatakan usia minimum pernikahan adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Sistem pencatatan populasi masih belum mencakup semua kelahiran dan belum dilengkapi prosedur pencarian sebab kematian.
Pelayanan kesehatan harus berkualitas, aman, efektif, tepat waktu, efisien, adil, dan fokus pada masyarakat. Mereka harus mampu menangani baik kehamilan normal maupun komplikasi yang membutuhkan penyelamatan jiwa segera. WHO menetapkan setiap tanggal 7 April sebagai Hari Kesehatan Sedunia dalam agar semua, termasuk para penyedia jasa pelayanan kesehatan, pemerintah, swasta dan masyarakat peduli menjaga kesehatan. Setiap orang, di mana pun dapat mengakses layanan kesehatan berkualitas, tanpa kendala keuangan. Penulis Doktor Lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember