JAKARTA - Penurunan aktivitas fisik masyarakat,gangguan pola makan anak, serta kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi kandungan gula, garam, dan lemak merupakan faktor yang berkontribusi pada tiga masalah malnutrisi (triple burden of malnutrition) keluarga di Indonesia. Ketiga masalah malnutrisi dimaksud adalah kekurangan gizi, kelebihan berat badan, dan kekurangan zat gizi mikro dengan anemia.

"Jika tidak ditangani secara baik dan sesegera mungkin, hal ini akan berkontribusi pada berbagai penyakit kronis di kemudian hari," kata Ketua Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (Yaici) Arif Hidayat, melalui siaran pers Minggu (27/11).

Salah satu penyebab sulitnya mengatasi tiga masalah mal nutrisi keluarga adalah tingkat literasi gizi masyarakat yang masih rendah. Hal itu turut didukung oleh minimnya penelitian yang dapat menjadi referensipeningkatan kesehatan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.

Selain itu, dari sisi kuantitas pun peneliti Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga. Sebagai perbandingan, jumlah peneliti per 1 juta populasi di Malaysia mencapai angka 7.000, diikuti Singapura dengan angka 2.590. Sementara, Indonesia hanya berada di angka 1.071 dengan populasi penduduk yang cukup besar.

"Untuk itu, dalam rangka mendorong perkembangan riset dan penelitian di Indonesia, Yaici menggandeng 4 universitas terkemuka di Indonesia, diantaranya Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Negeri Semarang (Unnes). Kerjasama dilakukan dengan melakukan penelitian bersama terkait Konsumsi Susu dan Status Gizi Anak di Indonesia," ungkapnya.

Arif mengatakan pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi era digital dengan perubahannya yang semakin cepat. Pada era ini ilmu pengetahuan dan teknologi saling berpacu. Oleh karenanya pada masa mendatang dibutuhkan SDM dengan kualitas unggul, yang dapat mengikuti perubahan zaman.

"Karena itu, sudah waktunya kita mengambil peran dalam globalisasi, salah satunya melalui dunia pendidikan, memperkaya literatur dengan penelitian-penelitian yang akan bermanfaat bagi masyarakat," jelas Arif Hidayat.

Menurut Arif, terpenuhi atau tidaknya kecukupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) sangat berpengaruh terhadap masa depan anak. Kekurangan gizi dan gangguan-gangguan kesehatan yang terjadi pada periode tersebut akan berdampak terhadap kemampuan dan produktivitas SDM dimasa mendatang.

Untuk memberi wawasan akan pentingnya kecukupan gizi pada 1.000 HPK, maka perlu dilakukan peningkatan literasi dan kesadaran masyarakat akan gizi sejak dini. Salah satu yang perlu didorong kata Arif adalah memastikan asupan protein yang cukup pada anak, terutama protein hewani karena sangat penting untuk meningkatkan ketahanan tubuh dan juga massa otak.

"Karena itu masyarakat perlu memahami, gizi anak tidak cukup bila hanya dari protein nabati seperti tahu dan tempe, tapi diperlukan asupan protein hewani yang dapat diperoleh dari telur, ikan, daging dan susu," jelasnya.

Konsumsi susu yang bersumber dari protein hewani kata Arif sangat penting lantaran mengandung energi, protein, asam amino dan mikronutrien, sehingga mendukung terjadinya pertumbuhan. Konsumsi susu yang cukup dapat menambah nutrisi penting untuk pencapaian Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk anak Indonesia.

"Rendahnya konsumsi protein hewani dan susu pada balita menyebabkan tingginya prevalensi stunting dan gangguan gizi lainnya," lanjutnya.

Baca Juga: