Ketika sektor dengan produktivitas tinggi tidak berkembang, ekonomi secara keseluruhan akan sulit mengalami lompatan signifikan.
JAKARTA - Proses transformasi struktural perekonomian nasional dinilai gagal meningkatkan produktivitas. Hal itu karena sektor-sektor yang berkontribusi terhadap perekonomian seperti agrikultur atau pertanian, manufaktur dan jasa (services) pelakunya atau tenaga kerjanya bertambah, tetapi produktivitasnya stagnan, bahkan cenderung turun.
Guru Besar dari Cornell University Amerika Serikat (AS), Iwan Jaya Azis, saat berbicara dalam LPS Research Fair 2024 di Jakarta, Rabu (16/10) malam, mengatakan Indonesia secara naturalnya adalah negara dengan struktur ekonomi agraria karena mengandalkan sumber daya alam, mulai dari tambang, pertanian, dan perkebunan. Namun setelah 2015, Indonesia sudah bergeser menjadi negara yang bertumpu pada jasa (services) karena nilai tambah sektor jasa, termasuk jasa keuangan, sangat besar dibanding dua sektor lainnya, yaitu agrikultur dan manufaktur. Begitu pun tenaga kerja lebih banyak di sektor jasa, terutama perdagangan.
"Jadi yang tumbuh di Indonesia adalah sektor yang produktivitasnya rendah. Meskipun pertanian naik, tetapi dengan semakin banyaknya tenaga kerja yang terlibat menyebabkan produktivitasnya turun," kata Profesor asal Indonesia yang mengajar di AS. Sementara itu, sektor jasa yang terbesar termasuk jasa keuangan seperti bank, asuransi, dan real estat pertumbuhannya masih positif, tetapi produktivitasnya turun.
Sedangkan manufaktur dalam empat tahun terakhir produktivitasnya rendah dan dalam jangka panjang cenderung stagnan karena teknologinya kalah bersaing dengan manufaktur- manufaktur dari negara lain yang sudah menggunakan teknologi canggih, seperti artificial intelligence atau kecerdasan buatan.
Dengan kondisi tersebut, dia mengimbau agar struktur ekonomi Indonesia bertransformasi dari sektor yang produktivitasnya rendah ke sektor yang produktivitasnya tinggi. Pada kesempatan lain, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, sepakat dengan penurunan produktivitas di Indonesia yang semakin mencemaskan, terutama karena kegagalan transformasi struktural ekonomi. Salah satu faktor yang menyebabkan stagnasi produktivitas adalah lambatnya pertumbuhan sektor manufaktur, yang dalam beberapa tahun terakhir gagal memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.
"Manufaktur di Indonesia mengalami stagnasi, dan ini berdampak langsung pada rendahnya pertumbuhan produktivitas. Ketika sektor dengan produktivitas tinggi tidak berkembang, ekonomi secara keseluruhan akan sulit mengalami lompatan signifikan," kata Maruf, Kamis (17/10).
Oleh sebab itu, kebijakan yang progreasif penting untuk mendorong penguatan sektor ini, termasuk peningkatan inovasi dan teknologi di dalamnya. Tanpa perbaikan mendasar di sektor manufaktur, Indonesia berisiko terjebak dalam perangkap negara pendapatan menengah atau middle income trap. "Jika kita ingin keluar dari stagnasi ini, kita harus memastikan sektor manufaktur bisa bersaing dan berkembang, bukan hanya sekadar bertahan," jelasnya. Ia juga menyarankan pemerintah agar lebih fokus pada investasi yang dapat meningkatkan kapasitas industri dalam negeri dan mengurangi kebergantungan pada sektor-sektor dengan produktivitas rendah.
"Human Capital"
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari Univeristas Katolik Atma Jaya Jakarta, YB Suhartoko, mengatakan produktivitas industri manufaktur secara teoritis dipengaruhi oleh human capital, mesin dan alat produksi, serta ketersediaan sumber daya alam (SDA) dan teknologi yang digunakan.
Tampaknya, penurunan produktivitas industri manufaktur di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh human capital. Kondisi itu terjadi karena lulusan yang bekerja di industri manufaktur sering kali tidak match dengan mesin dan alat produksi yang digunakan, sehingga butuh waktu untuk penyesuaian dan tentu saja menjadi penyebab turunnya produktivitas.
Selain itu, penggunaan teknologi yang tidak tepat guna sering kali menjadi penyebab turunnya produktivitas. Beberapa perusahaan dalam industri manufaktur, terutama perusahaan kecil, hanya memproduksi dalam jumlah yang lebih rendah dari kapasitasnya. "Hal ini menyebabkan rata-rata biaya produksi meningkat dan harga menjadi tinggi," pungkas Suhartoko. Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan, pemerintah harus konsentrasi untuk memperkuat sektor manufaktur, karena komoditas primer suatu saat akan habis. "Komoditas primer minim nilai tambah sehingga sulit untuk mengembangkan perekonomian.
Seharusnya Indonesia berkaca pada negara - negara maju, mengapa manufaktur atau sektor yang diberi sentuhan nilai tambahnya bisa maju," katanya. Tiongkok misalnya, sebelum maju seperti sekarang, mereka dulu mulai dari dalam negeri dengan selalu mengutamakan produk dalam negeri, sehingga akhirnya lama- lama bisa belajar memperbaiki kekurangan yang ada. "Tanpa meninggalkan potensi asli seperti pertanian, ke depan kita harus memperkuat ke manufaktur agar tidak terlalu bergantung dengan produk luar," ujarnya.