JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan kasus pencucian uang di Indonesia paling banyak ditemukan dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana narkotika.

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, mengatakan selain kedua tindak pidana tersebut, kasus pencucian uang juga ditemukan dalam tindak pidana kejahatan kehutanan, perpajakan, perbankan, dan pasar modal.

"Tindak pidana korupsi dan narkotika itu adalah kedua hasil peta risiko National Risk Assesment (NRA) kami dan sudah diubah beberapa kali, metodenya sampai tiga kali dan menunjukkan hasil yang sama," kata Ivan dalam media gathering di Jakarta, baru-baru ini.

Menurut Ivan, seluruh tindak pidana tersebut menjadi tantangan PPATK yang diformulasikan berdasarkan NRA yang dibuat bersama dengan 18 instansi lainnya.

NRA pencucian uang sudah dilaksanakan sejak tahun 2015, dan semenjak itu kasus pencucian uang memang cenderung ditemukan dalam tindak pidana korupsi dan narkotika.

"Indonesia tidak sendiri, beberapa negara juga menemukan hasil yang sama terkait tindak pidana yang paling banyak ditemukan kasus pencucian uangnya," tuturnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan tindak pidana korupsi harus dieksplorasi lebih jauh agar menemukan kasus pencucian uang lainnya yang belum terungkap. Pencucian uang adalah upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dan/atau tujuan penggunaan harta kekayaan dari hasil tindak pidana sehingga harta kekayaan tersebut seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah.

Tujuan dari pencucian uang adalah menyembunyikan uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan, menghindari tuntutan hukum, serta meningkatkan keuntungan secara tidak sah.

Sebelumnya, Guru Besar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan segala bentuk tindak pencucian uang harus ditindaklanjuti karena bisa menjadi bagian dari praktik korupsi.

"Semua bentuk white collar crime (kejahatan kerah putih) harus ditelusuri. Pencucian uang, korupsi, orang tidak mau bayar pajak, penyelundupan, dan lainnya, itu yang harus dicuci bersih. Masuk zaman ekonomi digital ini, semua yang bodong-bodong seperti itu harus dihilangkan," pungkas Wibisono.

Sebagai informasi, sejak 2016, Indonesia terus berupaya untuk dapat masuk menjadi anggota Financial Action Taskforce on Money Laundering (FATF). Pada Juni 2019, Indonesia sudah masuk di dalam status sebagai observer FATF. Menjadi anggota FATF secara penuh bukan suatu proses yang mudah dan singkat karena membutuhkan kesiapan secara nasional dari seluruh kelembagaan serta persetujuan dan dukungan dari seluruh anggota FATF.

Baca Juga: