Untuk pertama kalinya, Angkatan Udara Israel (IAF) akan berlatih untuk serangan skala besar di Iran dalam latihan utama militer 'Chariots of Fire' pada akhir bulan ini.

"Mengingat meningkatnya ketidakpastian mengenai kembalinya Iran ke kesepakatan nuklir 2015, di tengah negosiasi yang lama terhenti dengan Amerika Serikat, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada tahun lalu telah meningkatkan upayanya untuk mempersiapkan ancaman militer yang kredibel terhadap fasilitas nuklir Teheran ," bunyi pernyataan media Israel.

The Times of Israel menuturkan manuver udara skala besar, termasuk serangan simulasi terhadap target nuklir Iran, akan berlangsung di atas Laut Mediterania selama minggu keempat dan terakhir dari latihan selama sebulan mulai 29 Mei.

Latihan 'Chariots of Fire' sendiri dikabarkan akan melibatkan hampir semua unit IDF khususnya yang telah berfokus pada pelatihan untuk berperang di perbatasan utara Israel, termasuk melawan kelompok teror Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon.

Pada awal tahun lalu, Kepala Staf IDF Aviv Kohavi mengumumkan bahwa dia telah menginstruksikan militer untuk mulai menyusun rencana serangan baru terhadap Iran. Pada bulan September, Kohavi mengatakan tentara telah "sangat mempercepat" persiapan untuk tindakan terhadap program nuklir Teheran.

Namun, pejabat pertahanan memperkirakan bahwa beberapa aspek dari rencana serangan IAF, yang masih dalam tahap awal. IAF diperkirakan harus menemukan cara untuk menyerang fasilitas pertahanan Iran yang berada jauh di bawah tanah. IAF juga harus berurusan dengan pertahanan udara Iran yang semakin canggih. Dua hal inilah yang akan menjadi fokus persiapan Israel.

Pada hari Selasa, Menteri Pertahanan Benny Gantz memperingatkan bahwa harga untuk mengatasi tantangan Iran di tingkat global atau regional lebih tinggi daripada tahun lalu.

Gantz mengatakan Iran hanya "beberapa minggu" lagi dari mengumpulkan bahan fisil yang cukup untuk sebuah bom dan juga bekerja untuk menyelesaikan produksi dan pemasangan 1.000 sentrifugal canggih untuk memperkaya uranium, termasuk di situs bawah tanah baru di fasilitas nuklir Natanz.

Sementara, Iran bersikeras program nuklirnya semata-mata untuk tujuan damai.

Melansir Russia Today, Presiden Iran Ebrahim Raisi sebelumnya telah memperingatkan Israel bahwa militer negaranya akan menyerang "pusat rezim Zionis" jika Tel Aviv membuat gerakan kecil sekalipun untuk melawan Iran.

Pembicaraan yang bertujuan untuk memulihkan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) 2015, yang dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran, telah terhenti. Kesepakatan yang ditandatangani oleh Iran dan AS, Inggris, Rusia, Prancis, Jerman, Tiongkok, dan Uni Eropa, kesepakatan itu mengusulkan keringanan sanksi Iran dengan penghentian program nuklirnya. Namun, Mantan Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik diri dari kesepakatan pada 2018, mengklaim bahwa Iran melanggar kewajibannya.

Setelah satu tahun negosiasi di Wina, RT menuturkan sebuah kesepakatan muncul di tangan pada bulan Februari. Namun, Iran menuntut jaminan dari Washington bahwa presiden AS di masa depan tidak akan menarik diri dari perjanjian baru dan meminta AS untuk menghapus Korps Pengawal Revolusi Islam Iran dari daftar organisasi terorisnya. Kendasti, sejauh ini AS belum menanggapi permintaan Iran.

"Jika AS memberikan tanggapannya terhadap beberapa solusi yang diusulkan, kami dapat berada dalam posisi bahwa semua pihak kembali ke Wina," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh, seperti dikutip dari RT.

Baca Juga: