Calon pemimpin nasional dan wakil rakyat ke depan akan menghadapi tiga tantangan besar meliputi bagaimana dengan penerimaan akan perbedaan, keadilan sosial dalam pengentasan kemiskinan, dan persoalan korupsi.

JAKARTA - Ahli filsafat Franz Magnis-Suseno menyebut bahwa ada tiga tantangan serius yang harus disikapi oleh calon pemimpin nasional dan wakil rakyat ke depan.

Hal tersebut disampaikannya dalam seminar Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI "Menyongsong Kontestasi Demokrasi; Mencari Wakil Rakyat yang Bervisi, Bernurani, dan Berparadigma Etis" di Jakarta, Jumat (17/3).

Franz menyebut tantangan pertama ialah bagaimana memperkuat kesetiaan untuk saling menerima perbedaan di tengah ratusan komunitas etnik, budaya dan agama yang ada dari Sabang sampai Merauke. Menurut dia, identitas nasional sebagai bangsa Indonesia perlu dihayati secara sungguh-sungguh.

"Saling menerima dalam perbedaan atau bagaimana dihadapi kejadian-kejadian intoleransi yang tetap merusak kehidupan bersama bangsa," ujarnya.

Tantangan kedua, lanjut dia, adalah keadilan sosial dalam mewujudkan kesejahteraan agar bangsa Indonesia tidak terpecah secara vertikal. "Penghapusan kemiskinan dan perwujudan kesejahteraan bagi semua perlu menjadi prioritas pertama dalam pembangunan Indonesia," ucapnya.

Franz menyebut tantangan ketiga yakni korupsi menjadi tantangan yang paling serius untuk disikapi oleh calon pemimpin nasional dan wakil rakyat ke depan. "Amat penting kita memilih rakyat yang berprinsip, bernurani, berpandangan etis, itulah yang harus kita tuntut," katanya.

Pihak yang Dituding

Dalam kesempatan sama, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU RI menunda pelaksanaan Pemilu 2024 menempatkan penyelenggara pemilu pada posisi dilematis.

"Kalau mau mengubah (aturan pemilu), ya itu di Undang-Undang Dasar, tidak melalui putusan pengadilan, tentu tidak elok lah. Namun, kita harus menghormati putusan pengadilan. Itu permasalahan penting yang jadi permasalahan bagi kita, dilematis bagi penyelenggara pemilu," kata Bagja.

Hal tersebut, kata Bagja, karena penyelenggara pemilu menghadapi sebuah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum, di mana kekuasaan hakim dalam memutus suatu perkara diatur dalam Pasal 24 UUD 1945.

Di sisi lain, lanjut dia, penyelenggara pemilu dihadapkan pula pada amanat Pasal 22 UUD 1945 yang menyebutkan pemilu dijalankan setiap lima tahun sekali. "Pasal 22 menyatakan bahwa pemilu itu lima tahun sekali. Ada juga penyelenggara pemilu dan tahapan sudah berjalan. Ini lah yang menjadi posisi dilematis bagi penyelenggara negara," imbuhnya.

Bagja menilai isu penundaan pemilu yang berlarut hanya akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi dan pemerintahan. Terlebih, ujar dia, penyelenggara pemilu yang akan menjadi pihak pertama yang akan dituding pertama kali apabila Pemilu 2024 batal dilaksanakan tepat waktu.

Sebelumnya dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (2/3), majelis hakim mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan 7 hari.

Sementara itu, KPU RI mengajukan memori banding tambahan guna melengkapi berkas permohonan banding.

Baca Juga: