Kebijakan fiskal seperti tidak terencana dengan baik sehingga dampaknya terhadap perekonomian sulit diharapkan.
JAKARTA - Pemerintah dalam mendesain kebijakan fiskal melalui postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diharapkan membuat perhitungan yang cermat. Kecermatan membuat proyeksi itu agar kredibilitas pemerintah tetap terjaga.
Dari sisi keuangan negara pun bisa lebih efisien karena membuat penganggaran, terutama penarikan utang untuk membiayai defisit betul-betul terserap ke kegiatan yang produktif. Bukan sebaliknya, utang sudah ditarik untuk membiayai program, tetapi tidak terserap sehingga membebani keuangan negara terutama pembayaran bunga dari pinjaman itu.
Demikian disampaikan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB. Suhartoko, menanggapi pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan defisit APBN mencapai 35 triliun rupiah (0,17 persen dari PDB) per 12 Desember 2023 karena realisasi belanja negara lebih besar dari realisasi pendapatan negara. Defisit tersebut masih jauh dari proyeksi pemerintah hingga akhir tahun yang didesain sebesar 598,2 triliun rupiah atau 2,8 persen dari PDB.
Suhartoko menegaskan defisit yang lebih rendah dibandingkan dengan desain defisit menunjukkan daya dorong kepada pertumbuhan ekonomi melemah. Persoalannya yang harus dilihat, apakah penurunan defisit itu disengaja atau karena ketidakmampuan dalam pencapaian. "Nampaknya kemungkinan yang kedua lebih realistis," ungkapnya.
Ketidakmampuan mencapai desain defisit, jelas Suhartoko, sangat klasik, yaitu realisasi anggaran yang tertumpuk pada bulan Oktober dan sesudahnya. Ini sudah bertahun-tahun selalu terjadi. "Ini menandakan kebijakan fiskal seperti tidak terencana dengan baik dan tentu saja dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi sulit diharapkan," katanya.
Pada kesempatan terpisah, pengamat ekonomi STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan semestinya Menkeu memberi klarifikasi lebih lanjut kenapa realisasi defisit jauh dari proyeksi atau target yang telah ditetapkan.
Menkeu tidak bisa mengatakan bahwa hal itu adalah hal baik, mengingat Indonesia membutuhkan pertumbuhan lebih tinggi untuk menyerap tenaga kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Sri Mulyani, kata Aditya, perlu secara gamblang menjelaskan asumsi apa yang membentuk dasar perhitungan, apakah proyeksi itu berdasarkan peningkatan pendapatan, pengurangan belanja, atau faktor lainnya.
"Pemerintah perlu merespons perubahan ini dan ada langkah-langkah korektif atau kebijakan fiskal yang diimplementasikan untuk mengatasi ketidaksesuaian antara desain awal dan kinerja aktual," kata Aditya.
Harus Dievaluasi
Selain proyeksi defisit, penyerapan anggaran negara yang terus saja terjadi menjelang tutup tahun harus terus dievaluasi karena sering tidak efektif dan hanya buang-buang anggaran.
"Bisa jadi meski defisit sudah jauh dari target, SILPA juga masih tetap tinggi. Ini bukan prestasi namanya, tapi kegagalan penggunaan anggaran," tandas Aditya.
Menkeu dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Jumat (15/12), mengatakan pendapatan negara sampai 12 Desember 2023 tercatat 2.553,2 triliun rupiah atau 103,7 persen dari target awal APBN yang sebesar 2.463 triliun rupiah, dan diperkirakan sampai akhir tahun dapat mencapai target pendapatan dalam revisi APBN 2023 sebesar 2.637,2 triliun rupiah.
Dari sisi belanja, sampai 12 Desember 2023, negara sudah membelanjakan 2.588,2 triliun rupiah atau mencapai 84,55 persen dari target belanja pada APBN 2023 awal yang sebesar 3.061,2 triliun rupiah atau mencapai 83 persen dari revisi APBN sebesar 3.117,2 triliun rupiah.
Belanja negara tercatat menurun 4,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 2.698,4 triliun rupiah karena penurunan belanja pusat sebesar 5,9 persen menjadi 1.840,4 triliun rupiah.
Namun demikian, transfer ke daerah mengalami pertumbuhan sebesar 0,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 747,8 triliun rupiah.
Meskipun mulai defisit, keseimbangan primer tercatat masih surplus 378,6 triliun rupiah atau lebih baik dari proyeksi yang diperkirakan defisit 156,8 triliun rupiah.