Banyak potensi EBT dalam negeri yang belum dioptimalkan guna memenuhi kebutuhan.

JAKARTA - Pemerintah seharusnya belajar dari kesalahan masa lalu yang terlalu bergantung dan terlena pada impor bahan bakar minyak (BBM) yang menyebabkan subsidi ratusan triliun rupiah tiap tahun, sehingga sangat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Di kala tuntutan masyarakat global untuk beralih ke energi baru terbarukan (EBT), pemerintah semestinya memanfaatkan momentum tersebut untuk menggali semua potensi energi bersih yang ada. Dengan optimalisasi pemanfaatan energi bersih maka ke depan akan menciptakan swasembada energi, bahkan malah bisa mengekspor energi ke negara tetangga.

Pakar Ekonomi dari Universitas Katolik (Unika) Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Rabu (16/3), mengatakan beban APBN saat ini tidak terlepas dari keterlambatan pemerintah melalukan diversifikasi ke EBT.

Akibat terlalu lama bergantung pada impor BBM, beban subsidi di APBN kian membengkak. Begitu juga dengan beberapa komoditas pangan yang harus diimpor, padahal dalam negeri bisa memenuhi kalau produktivitas dipacu.

"Kesalahan ini jangan terus-menerus dilakukan. Pemerintah perlu mengoptimalkan sumber energi dalam negeri yang berlimpah. Indonesia punya peluang untuk swasembada energi, tinggal bagaimana mengembangkannya. Upaya itulah yang selama ini masih minim," kata Suhartoko.

Salah satu potensi EBT yang sangat besar Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Kalau potensi energi Matahari itu diupayakan dalam skala besar maka suplai akan terpenuhi, bahkan surplus.

Sebelumnya, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan kalau impor PLTS itu dilakukan maka sangat tidak masuk akal dan sulit diterima dengan akal sehat. Sebab, RI punya potensi energi surya yang melimpah. Sepanjang tahun matahari bersinar di seluruh wilayah Indonesia.

"Jika sampai impor tenaga surya dilakukan, ini kebangetan. Kenapa, karena Indonesia punya sumber energi tenaga surya yang melimpah, bahkan lebih besar dari Australia," kata Esther.

Krisis Energi

Dihubungi terpisah, Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Imron Mawardi, mengatakan pemerintah perlu berkaca dari ancaman krisis harga energi menyusul konflik di Ukraina. Kebergantungan pada impor sangat berisiko karena berkaitan dengan faktor eksternal yang sulit dikontrol seperti pengaruh musim, hambatan distribusi karena masalah geopolitik dan faktor keamanan.

"Perang di Ukraina dan pemulihan kondisi dari pandemi akan semakin menekan harga energi. Selain Russia adalah salah satu produsen energi, pelonggaran dari pandemi yang semakin meluas, mendorong permintaan minyak sehingga berdampak pada harga minyak, yang pada gilirannya diikuti oleh gas dan jenis energi lain. Momen ini harus dilihat pemerintah untuk semakin serius beralih ke energi bersih," kata Imron.

Dia memandang perlu adanya semacam akselerasi dalam mengembangkan energi terbarukan, agar ke depan bisa memetik peluang bisnis ekspornya. "Memang kita belum sepenuhnya bisa lepas dari yang konvensional, tapi persiapan dan upaya peralihan perlu ditingkatkan, termasuk efesiensi di pos anggaran lain, untuk memperkuat pendanaan transisi ke energi terbarukan," kata Imron.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, dalam sebuah webinar mengakui kalau pemerintah akan melakukan reformasi subsidi energi pada waktu yang tepat dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat.

"Agenda reformasi baik elpiji maupun listrik sekarang harus diperhatikan timing-nya, terutama dalam kondisi perekonomian dan harga komoditas yang tinggi," kata Febrio.

Sebelumnya diberitakan, dua orang terkaya Australia berencana untuk memasok listrik ramah lingkungan ke Singapura dan Indonesia. Proyek ambisius itu ditandai dengan pembangunan ladang surya terbesar di dunia dan pemasangan kabel laut sepanjang 5.000 kilometer.

Rencana mengekspor listrik hijau melalui kabel laut dirintis oleh perusahaan Australia, Sun Cable. Kini, dukungan finansial datang dari pengusaha tambang, Andrew Forrest, dan pengusaha software Australia, Mike Cannon-Brookes.

Dengan menggabungkan modal 152 juta dollar AS untuk Sun Cable, maka ditargetkan akan mulai mengekspor listrik dari ladang surya raksasa di Northern Territory pada 2027 mendatang ke Singapura dan Indonesia.

Baca Juga: