KFJ berupaya mendorong para anggotanya untuk membuat karya. Mereka kerap mengadakan berbagai workshop, seperti penyutradaraan, penulisan skenario maupun pembuatan film.

Mencapai kesuksesan di jaman penuh kompetisi tidak sekedar menunggu kerja sama. Para pekerja kreatif perlu agresif membuat karya. Sayangnya, sudut pandang tersebut belum sepenuhnya dipahami para pekerja kreatif muda.

Komunitas Film Jakarta (KFJ) berupaya mendorong anak muda, khususnya di bidang film, untuk membuat karya. Aktris,Widyawati baru saja mendapatkan penghargaan sebagai pemeran pembantu terbaik melalui film Ambu dalam Festival Film Asia Pasifik 2020. Penghargaan diberikan dihadapan penonton dalam ajang yang berlangsung di Broadway Theater, Macau.

Aktris berusia 70 tahun membuktikan dedikasinya di bidang seni peran bahwa usia tidak melunturkan kreatifitas. Itulah bidang kreatif, usia tidak menghalangi untuk berkarya.

Setiap pekerjanya bebas berkarya dalam kurun usia yang tidak terhingga. Karena melalui karyalah, potensi yang dimiliki dikenal para profesional maupun khalayak luas.

Sayangnya, sudut pandang tersebut belum sepenuhnya dipahami penggiat film dari kalangan muda. Mereka masih berkutat dengan ide tanpa karya yang nyata. Padahal, kompetisi membuat karya semakin ketat. Mereka yang terlibat dalam kompetisi tidak hanya kalangan seusianya saja. Generasi yang lebih tua tidak berhenti untuk membuat karya.

"Mereka (anak muda) nggak sadar kalau sekarang jamannya berkompetisi. Mereka cuma mau bilang bikin film tapi membuat portfolio saja nggak tahu caranya," ujar Ahmad Alfi Zainuddin, pendiri KFJ atau yang lebih dikenal sebagai Kak Alfi saat ditemui dibilangan Kemang, Jakarta Selatan, Selasa (7/1) malam.

Tanpa karya, para pekerja kreatif akan kesulitan mendapatkan kerja sama maupun peluang dari kalangan profesional. Karena, hasil kerjanya belum terlihat nyata.

"Banyak anggota di komunitas yang bilang tolong ajak aku dan sebagainya. Itu nggak bakal, ada professional yang ngajak (kerja sama)," ujar laki-laki yang saat ini berprofesi sebagai sutradara.

Sejauh pengamatannya, anak- anak milenial masih banyak yang menunggu mendapatkan job. "Mereka tidak mau membuat karya terlebih dahulu," ujar dia. Padahal mindset tersebut perlu diubah, karena film adalah industri kreatif." Kalau tidak kreatif menjual diri tidak akan mendapatkan peluang," ujar laki-laki yang akan membuat film di Korea ini.

Karena film bukan berkaitan dengan ijazah yang dikantongi pekerjanya melainkan karya yang telah dibuat para pekerjanya. KFJ berupaya mendorong para anggotanya untuk membuat karya.

Mereka kerap mengadakan berbagai workshop, seperti penyutradaraan, penulisan skenario maupun pembuatan film. Kegiatan lain berupa penayangan film legal maupun diskusi yang dilakukan secara online dan offline.

Khusus penayangan film, KFJ memilih film legal sebagai upaya membiasakan anggotanya untuk menggunakan produk legal. Kegiatan yang dilakukan komunitas tidak dilakukan secara rutin, karena sifatnya santai.

Kegiatan dilakukan berdasarkan usulan anggotanya. Selama kegiatan akan terlihat anggota yang aktif maupun anggota yang tidak aktif. Anggota yang aktif inilah yang nantinya akan memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi pekerja kreatif komersial.

Lantaran, karyanya akan semakin dikenal serta memperluas pergaulan dikalangan pekerja kreatif. Seperti yang dilakukan Alfi saat pertama kali terjun membuat film. Dia hanya mengandalkan handphone seharga 600 ribu rupiah. Film bergenre horor dibuat tanpa biaya. Sebagai aktornya, dia mengandalkan temantemannya.

"Dibayar hanya dengan nasi goreng rumahan," ujar dia tergelak mengenang masa awal menjadi film maker. Setelah, filmnya menang dalam kompetisi film horor di Yogya, dia baru mendapatkan tawaran membuat film.

KFJ didirikan sebagai wadah para pecinta film. Tidak hanya untuk film makernya saja melainkan orang-orang yang tertarik dengan film meskipun hanya sekedar menontonnya, maupun memberikan hibah. Komunitas yang berdiri pada 5 Februari 2019 telah memiliki anggota sebanyak 190 orang.

"Ternyata orang membutuhkan wadah untuk membahas film," ujar dia yang membatasi anggota tidak melakukan tidak asusila selama di komunitas.

Jatuh Cinta pada Proses Produksi

Proses produksi film maupun video yang membutuhkan kerja sama di bidang kreatif tak urung mengundang daya tarik. Selain pengalaman, pergaulan pun semakin luas.

Hal tersebutlah yang dirasakan Kenty Y Mentari, 24, video producer di Impacts Digital, Kitabisa.com, terlibat dalam proses produksi tidak pernah terbayangkan perempuan lulusan akutansi ini.

Setelah lulus kuliah, Mentari diajak temannya untuk terlibat dalam produksi content band rock. "Karena teman mau lahiran, saya diminta jadi asistennya untuk membuat content band rock di luar kota," ujar dia melalui aplikasi komunikasi, Jumat (10/1).

Tanpa disadari, pekerjaan tersebut justru menumbuhkan ketagihan pada kerja produksi. Dia memiliki kenalan dengan banyak kru, menghubungi vendor, meeting dengan klien, bahkan mengurusi semua proses produksi.

Mentari yang pada akhirnya didapuk menjadi produser video content pun dituntut mampu mengatur keuangan salama proses produksi. Di sisi lain, diapun harus mampu memenuhi harapan klien tanpa meninggalkan sisi kreatif sutradaranya. Sementara Doan Fickri, 25, lebih tertarik untuk menjadi penulis skenario.

Sampai saat ini, ia lebih senang menulis skenario untuk film drama. " Kalau (film) drama lebih manusiawi saja," ujar dia beralasan. Doan yang telah menulis tiga scenario itu mampu menulis dalam sehari untuk film cerita pendek.

Dalam menulis skenario, dia akan selalu bekerja sama dengan produser dan sutradara untuk menentukan topik maupun tema ceritanya. Film drama merupakan film yang tidak pernah lekang oleh waktu. Salah satu kekuatan film drama terletak dari latar belakang budayanya.

Penonton Film Tanah Air Membanjir

Para pecinta film maupun sineas boleh berbangga dengan film Tanah Air. Semakin hari, film dalam negeri makin dibanjiri penonton. Terlebih dengan perkembangan teknologi, film memiliki ruang tonton yang lebih luas. Jumlah penonton film Tanah Air semakin naik dari tahun ke tahun.

Melalui data statistik, Alfi mengatakan pada 2019, jumlah penonton film Tanah Air sebesar 60 juta penonton pertahun. Angka tersebut melonjak pesat dibandingkan 2011, yaitu sekitar 5 juta penonton.

Bahkan film dengan jumlah penonton 1 juta penonton terbilang bukan lagi spektakuler. "Dan ini ( penonton) akan terus mengalami kenaikan," ujar dia tentang jumlah penonton film Tanah Air.

Beberapa faktor menjadi pendorong kenaikan penonton film Tanah Air. Salah satunya yaitu, film tidak hanya ditayangkan melalui layar lebar di bioskop, melainkan melalui berbagai platform, seperti iflix atau Netflix.

Selain itu, banyak munculnya media tayang alteratif seperti yang terdapat di kafe-kafe dengan sebuah layar. Untuk menjaring penonton, penyelenggara dapat menyebarkan tiket melalui media sosial, seperti instagram. "Jadi seperti ngeband," ujar dia. Di sisi lain, Alfi berpendapat bahwa pemerintah cukup mendorong pertumbuhan perfilman Tanah Air.

"Banyak program perfilmnya dari pemerintah," ujar dia. Salah satunya dengan pemberian beasiswa pada para film maker. Dari isi cerita, saat ini cerita yang diangkat dalam film cukup beragam, tidak lagi sebatas drama maupun action. Film mulai mentransformasikan genre cerita, seperti drama yang dicampur dengan science fiction.

Sehingga, ada suasana baru dalam perfilman Tanah Air. Horor masih menjadi cerita yang digemari. Film horor tidak hanya banyak diminati pecinta Tanah Air. Para sineas luar negeri pun membuat film genre tersebut, lantaran horor merupakan film yang selalu profitable. Momentum film Hollywod yang tengah mengalami kejenuhan cerita menjadi pendorong berkembangan film-film Asia, tidak terkecuali film Indonesia.

Meskipun belum sepesat Jepang dan Korea, momentum ini dapat menjadi peluang para sineas dalam negeri untuk lebih meningkatkan karya dan kreasinya. Sayangnya, kondisi tersebut masih belum ditangkap sepenuhnya oleh para sineas.

Masih minimnya jiwa kompetisi menyebabkan para sineas kurang agresif dalam mengeluarkan karya. Kendala lainnya, banyak sineas yang menyembunyikan karyanya.

"Kalau filmnya nggak laku, mereka (sineas) nggak mau merilis," ujar dia. Seperti merilis data penonton, mereka kerap menyembunyikan data penonton jika film yang dibuatnya tidak laku di pasaran.

Padahal, data tersebut diperlukan untuk mengukur style film yang laku di pasaran. Di masa mendatang diharapkan, para sineas dapat saling bekerja sama untuk meningkatan industri film Tanah Air sehingga tidak memandang satu sama lain sebagai musuh. din/R-2

Baca Juga: