» Tingkat pengangguran AS turun menjadi 3,8 persen pada Maret 2024 dari 3,9 persen bulan sebelumnya.

» Prospek ekonomi AS yang kuat, dukung pandangan bahwa the Fed harus mempertahankan suku bunga.

JAKARTA - Bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan Fed Funds Rate (FFR) di level tinggi dalam waktu yang lebih lama atau higher for longer. Hal itu karena data ekonomi AS menguat, sementara inflasi masih jauh dari target 2 persen.

Ekonom Bank Mandiri, Reny Eka Putri, kepada Antara di Jakarta, Selasa (16/4), mengatakan data perekonomian Amerika Serikat (AS) yang terus membaik membuat pelaku pasar berspekulasi bahwa the Fed akan terus mempertahankan suku bunga acuannya di level tinggi lebih lama sehingga mendorong penguatan dollar AS.

The Fed memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) AS akan lebih baik pada 2024. The Fed optimistis perekonomian masih kuat meski FFR di level tinggi. Tingkat pengangguran AS, tuturnya, juga turun menjadi 3,8 persen pada Maret 2024 dari 3,9 persen pada bulan sebelumnya.

Selain itu, penjualan ritel AS melonjak sebesar 0,7 persen secara bulanan (month to month (mtm) atau dari bulan sebelumnya pada Maret 2024.

Inflasi AS pun masih di atas target bank sentral AS sebesar 2 persen. Indeks harga pengeluaran konsumsi personel (PCE) AS dilaporkan sebesar 2,5 persen secara year on year (yoy) pada Februari 2024, lebih tinggi dari 2,4 persen (yoy) pada Januari 2024.

Selanjutnya, data inflasi Indeks Harga Konsumen (CPI) AS dirilis sebesar 3,5 persen pada Maret 2024, di atas ekspektasi sebesar 3,4 persen dan dari bulan sebelumnya sebesar 3,2 persen.

"Pemangkasan pertama FFR mungkin akan semakin tertunda," kata Reny.

Berdasarkan konsensus pasar dari CME Group Fed Watch Tools, penurunan FFR dengan probabilitas tertinggi sebesar 45,7 persen hanya akan terjadi pada September 2024, mundur dari prediksi sebelumnya yang memperkirakan pasar akan turun terlebih dahulu pada Maret 2024.

Indeks dollar AS pun terus menguat, naik di atas 106, yang merupakan level tertinggi dalam lima bulan terakhir, seiring dengan semakin banyaknya bukti ketahanan perekonomian AS yang memperkuat spekulasi bahwa the Fed akan menahan diri untuk tidak menurunkan suku bunganya lebih lama.

"The Fed belum mengubah pandangannya mengenai penurunan suku bunga tahun ini. The Fed menyatakan kekhawatirannya bahwa inflasi tidak turun cukup cepat," katanya.

Harga Minyak

Diminta terpisah, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB. Suhartoko, mengatakan saat ini kurs rupiah terhadap dollar AS terus melemah, di tengah potensi eskalasi politik di Timur Tengah yang meluas dan mengganggu rantai pasok minyak, sehingga dapat meningkatkan ekspektasi kenaikan harga minyak.

Kondisi tersebut, kata Suhartoko, akan meningkatkan permintaan dollar AS yang membuatnya semakin terapresiasi. The Fed pun terus mempertahankan suku bunga tinggi, sehingga tidak memberi ruang yang cukup kepada bank sentral lain, termasuk Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga.

"Jika BI turunkan suku bunga, akan berdampak kepada capital outflow dan pelemahan rupiah. Oleh karena itu, BI harus meningkatkan penawaran dollar AS dengan bekerja sama dengan bank sentral negara lain dengan perjanjian pinjaman siaga penyediaan dollar AS untuk intervensi dan berjaga jaga," katanya.

Agar kredit investasi terjaga, dia meminta BI menggunakan instrumen makroprudensial yang dilonggarkan, sehingga likuiditas perbankan tetap mencukupi. Dengan demikian, tingginya suku bunga acuan hanya berdampak di pasar keuangan.

Sementara itu, analis ICDX, Taufan Dimas Hareva, di Jakarta, Selasa (16/4), mengatakan pelemahan rupiah di akhir perdagangan terimbas rilis angka penjualan ritel AS yang lebih baik dari perkiraan.

Taufan mengatakan data penjualan ritel AS yang lebih kuat itu memperkuat ekspektasi bahwa the Fed dapat mempertahankan suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lama.

Data makroekonomi AS melaporkan penjualan ritel secara bulanan tumbuh kuat sebesar 0,7 persen dari ekspektasi 0,3 persen. Pada Februari, data penjualan ritel naik 0,9 persen, direvisi naik dari 0,6 persen.

Data penjualan ritel adalah salah satu indikator utama belanja konsumen, yang mencakup lebih dari dua pertiga perekonomian AS. Belanja rumah tangga yang lebih tinggi menunjukkan prospek inflasi yang sulit.

Angka-angka tersebut menyoroti prospek perekonomian AS yang kuat dan mendukung pandangan bahwa the Fed harus mempertahankan suku bunga pada tingkat tinggi untuk waktu yang lebih lama.

Di samping itu, para pejabat the Fed telah menegaskan kembali perlunya mempertahankan suku bunga lebih tinggi sampai mereka yakin bahwa inflasi akan kembali ke tingkat yang diinginkan yaitu 2 persen.

Presiden Bank Fed San Francisco, Mary Daly, mengatakan pada Jumat bahwa sama sekali tidak ada urgensi untuk mulai menurunkan suku bunga. Daly menambahkan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan inflasi kembali ke tingkat yang diinginkan, yaitu 2 persen.

Baca Juga: