Sejak Dune dirilis pada 2021, belum ada film petualangan fiksi ilmiah yang cukup berbobot hingga panen pujian dari banyak kritikus seperti The Creator.

Berbekal budget produksi "hanya" 80 juta dolar AS, karya sutradara Gareth Edwards (Rogue One: A Star Wars Story) ini tampil ala karya produksi mewah ratusan juta dolar, menghentak dengan ramuannya yang begitu kuat dengan keseruan aksi, keindahan efek visual, kedalaman cerita, hingga akting yang brilian.

Dikembangkan sejak 2019, The Creator mengangkat tema yang sekarang menjadi kekhawatiran global: perang masa depan antara umat manusia dan kekuatan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Pasca sistem pertahanan yang dikendalikan AI menembakkan senjata nuklir dan melenyapkan separuh populasi Los Angeles, militer AS pada 2070 melakukan perburuan terhadap benteng-benteng AI yang tersebar di Republik Asia Baru.

Edwards yang ikut menulis skenario seperti ingin menunjukkan gambaran masa depan konstelasi dua kekuatan dunia saat ini, Amerika Serikat dan Tiongkok. Dalam film, seolah negara tirai bambu itu telah berhasil menyatukan kawasan Asia dalam sebuah republik.

Memang tema perang masa depan seperti ini bukan mainan baru bagi Hollywood. Tapi ini adalah soal bagaimana membuat sebuah film terasa begitu hidup, hingga membawa penonton merasakan apa yang dialami oleh setiap karakternya.

Misi sang protagonis, Joshua (John David Washington), agen rahasia militer AS, adalah menyusup ke kubu musuh untuk menemukan Nirmata, pemimpin AI yang sosoknya masih misterius. Dia juga harus mendapatkan Alpha Omega, senjata pamungkas pihak AI yang disiapkan untuk menghancurkan Nomad, benteng terbang sekaligus pusat komando AS yang
mengorbit di Bumi.

Berjudul asli True Love, cerita berawal dari serbuan ke sebuah markas AI oleh pasukan khsusus AS hingga menewaskan istri Joshua yang tengah hamil. Dirundung kesedihan, ia kemudian menjauhi militer, hingga datang seorang petinggi angkatan darat AS yang memberi bukti bahwa istrinya masih hidup.

Kini Joshua harus menuntun pasukan AS ke sebuah laboratorium rahasia AI untuk menemukan Alpha Omega dan melumpuhkan senjata tersebut.

Washington yang bermain cemerlang dalam Tenet, berhasil tampil sebagai sosok klasik, prajurit yang lebih mementingkan perasaan alias hati, daripada misi: menemukan istri tercinta. Dalam kekacauan yang terjadi, ia menemukan Alphie, anak perempuan polos yang tak lain adalah wujud awal dari Alpha Omega.

Dihantui pengalaman kehilangan calon bayi, Joshua lalu memilih menyelamatkan Alphie dan melarikannya. Dari sini terlihat kejeniusan Edward dalam mengalirkan cerita bahwa kehidupan bukan semata pihak baik dan jahat, hitam dan putih, melainkan abu-abu yang kabur, hingga membuat keputusan seseorang sangat bergantung pada latar belakang kehidupannya.

Jangan salah, meskipun memiliki nuansa drama kuat, The Creator tetap merupakan dagangan blockbuster yang penuh aksi heroik, tembak-menembak laser, dan pesawat ruang angkasa seukuran sebuah pulau. Tapi itu semua tetap seimbang dalam naturalisme neraka perang yang suram, brutal, dengan nuansa khas kemiskinan penduduk Asia.

Dan Edwards membungkus semua unsur itu dengan kesedihan yang tak berkesudahan dari para karakter yang harus kehilangan orang terdekat.

Edwards mengambil banyak karya besar sebagai sumber inspirasi untuk film ini, seperti Apocalypse Now (1979), Blade Runner (1982), Akira ( 1988), Rain Man (1988), The Hit (1984), dan ET the Extra-Terrestrial (1982).

Film ini seperti menunjukkan pada khakayak bahwa Inggris bukan hanya punya Christoper Nolan yang telah melegenda dengan trilogi Batman dalam Dark Knight atau Oppenheimer baru-baru ini.

Edwards berhasil menampilkan gambaran masa depan yang nyata lengkap dengan segala atribut hi-tech yang berdampingan realita kehidupan yang suran. Meskipun tak luput dari kekurangan, sejumlah kritikus menyebut The Creator sebagai salah satu film terbaik 2023.

Tanpa kehilangan standar Star Wars-nya, dia berhasil menekan biaya dengan membentuk tim produksi yang ramping dan berbekal peralatan secukupnya.

"Saya mengambil kamera dan lensa anamorphic tahun 1970an, kami pergi mencari lokasi di Vietnam , Kamboja , Jepang, Indonesia, Thailand, dan Nepal. Rencana kami hanya pergi ke lokasi-lokasi terhebat di dunia, karena biaya penerbangan jauh lebih murah dibandingkan biaya membangun satu set," ujarnya seperti ditulis oleh Total Film.

Upaya itu berhasil membawa The Creator sebagai pertempuran spektakuler serta kisah yang emosional lebih ke dekat ke benak penonton.

Selain putra aktor Denzel Washington, film ini juga menampilkan Ken Watanabe , Sturgill Simpson, Gemma Chan dan aktris berusia sembilan tahun, Madeleine Yuna Voyles.

Namun keunggulan The Creator sebenarnya adalah berhasil mengaduk-aduk nalar, kepada siapa kita harus berpihak: umat manusia yang diwakili oleh militer yang kerap beroperasi dengan kejam, atau AI ciptaan manusia yang dalam film ini ditunjukkan mampu hidup berdampingan dengan penduduk dalam damai.

Baca Juga: