Thailand akhirnya menyuarakan keprihatinan atas kekerasan yang terjadi di Myanmar dan menuntut konsensus Asean yang telah disepakati agar segera diimplementasikan.

BANGKOK - Thailand prihatin atas kekerasan yang terjadi di banyak wilayah Myanmar dan menuntut implementasi langkah-langkah yang telah disepakati oleh para pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/Asean) untuk membantu mengakhiri kekacauan yang dipicu kudeta militer pada 1 Februari lalu.

"Kami telah mengikuti perkembangan di Myanmar dengan sangat prihatin, terutama insiden kekerasan di banyak bagian negara itu," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Tanee Sangrat, dalam sebuah pernyataan pada Minggu (6/6).

Tanee juga mengulangi seruan kepada Myanmar untuk mengakhiri kekerasan, membebaskan semua tahanan, serta implementasi konkret dari konsensus lima poin yang telah disepakati oleh Asean sesegera mungkin.

Thailand berbagi perbatasan yang lebih panjang dengan Myanmar daripada negara lain, dan khawatir konflik tersebut dapat menyebabkan banjir pengungsi. Pemerintahannya sendiri dipimpin oleh seorang mantan panglima militer yang merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta sebelum mengadakan pemilihan.

"Banyak dari apa yang telah dilakukan Thailand mungkin tidak dipublikasikan karena kami percaya bahwa diplomasi yang tenang dan rahasia antara tetangga akan lebih efektif dan sejalan dengan diplomasi tradisional Thailand," kata Tanee.

Di lain pihak, junta Myanmar telah menunjukkan keengganan untuk memperhatikan lima poin konsensus yang disepakati para pemimpin Asean pada April lalu. Konsensus itu, antara lain, juga mencakup desakan untuk pembicaraan politik serta penunjukan utusan khusus Asean untuk membantu menyelesaikan krisis Myanmar.

Selain itu junta telah gagal menerapkan kontrol sejak merebut kekuasaan dari pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, yang termasuk di antara lebih dari 4.500 orang yang ditahan sejak kudeta serta sedikitnya 847 orang tewas dalam unjuk rasa antikudeta.

Sementara itu, protes harian terhadap militer telah berkembang di beberapa bagian Myanmar menjadi pemberontakan bersenjata dan konflik etnis yang telah berlangsung selama satu dekade, kembali berkobar.

Para penentang junta telah menyuarakan rasa frustrasi atas kurangnya tindakan keras oleh Asean dan mengatakan pertemuan dua perwakilan kelompok itu dengan pemimpin junta Min Aung Hlaing justru memberinya legitimasi yang lebih besar, tetapi tidak mendatangkan manfaat untuk memperbaiki situasi di Myanmar.

Penyair Dibunuh

Sementara itu kantor berita AFP pada Sabtu (5/6) melaporkan bahwa penyair bernama Khet Thi telah jadi korban keganasan rezim junta di Myanmar.

Bulan lalu, sejumlah polisi dan tentara mengepung rumah yang ditinggali Khet Thi bersama istri dan keluarganya di pusat kota Shwebo. Mereka menuduh penyair itu, yang membuat kue dan es krim untuk menghidupi keluarganya, merencanakan serangkaian ledakan bom, dan menuntut dia menyerahkan diri.

Beberapa hari kemudian, istri Khet Thi yang bernama Chaw Su, dipanggil ke rumah sakit di Monywa yang berjarak sekitar 80 kilometer jauhnya.

"Saya kira saya bisa (membawakan) beberapa pakaian untuknya," kata Chaw Su kepada AFP.

Namun, menurut seorang petugas polisi, hal itu tidak perlu karena suaminya telah meninggal.

Sebelum dibunuh, puisi-puisi Khet Thi berisi cercaan terhadap kudeta oleh militer Myanmar. Dia bergabung dengan gelombang protes yang mendukung para demonstran demokrasi dan menentang tindakan brutal militer dengan kata-kata.

Saat tentara melancarkan penumpasan atas perlawanan terhadap kudeta militer, Khet Thi meminta publik untuk berdiri tegak melawan apa yang dilihatnya sebagai ancaman terhadap eksistensial bagi masa depan negara itu.

"Kita harus berjuang untuk memenangkan pertempuran ini. Jika kita kalah, kita menjadi Korea Utara. Jika kita menang, kita menjadi Korea Selatan," tulis dia. AFP/Ant/I-1

Baca Juga: