BANGKOK - Otoritas Pembangkit Listrik Thailand (Electricity Generating Authority of Thailand/EGAT) pada Sabtu (30/10) mulai mengoperasikan ladang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung yang pertama dan terbesar yang terletak di Bendungan Sirindhorn, Provinsi Ubon Ratchathani, Thailand timur laut.
Di ladang PLTS apung ini terpasang sebanyak 144 ribu panel surya terpisah yang memiliki luas 121 hektare atau setara dengan 100 lapangan sepak bola.
Dengan beroperasinya PLTS ini maka Thailand kini memiliki proyek pembangkit listrik tenaga surya hibrida terbesar di dunia dimana PLTS akan menghasilkan listrik sepanjang hari saat matahari bersinar dan bendungan PLTA akan menghasilkan listrik untuk malam hari.
"PLTS terapung ini menghasilkan 45 megawatt listrik dan beroperasi pada sistem hibrida karena berbagi jalur transmisi dengan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang sudah beroperasi. PLTA yang sudah ada memiliki kapasitas 36 megawatt. Energi listrik yang diperoleh dengan cara hibrida ini untuk memasok listrik listrik di tiga provinsi di Thailand timur," lapor kantor berita Channel News Asia pada Minggu (31/10).
PLTS apung ini adalah yang pertama dari banyak proyek ladang panel surya terapung serupa yang akan diluncurkan di seluruh Thailand, seiring langkah Negara Gajah Putih untuk mempelopori dekarbonisasi di sektor energinya.
Proyek PLTS apung di Provinsi Ubon Ratchathani ini membantu salah satu masalah terbesar terkait dengan pembangunan infrastruktur tenaga surya yaitu kelangkaan dan beban biaya lahan yang amat besar.
Strategi Percepatan
Dalam keterangannya, Prasertsak mengkonfirmasi rencana untuk proyek PLTS apung lainnya yang lebih kecil di Thailand utara. Setelah itu, dia berharap bahwa rencana lebih banyak peluncuran pembangkit listrik nasional berikutnya akan bisa memenuhi strategi percepatan proyek energi baru terbarukan (EBT) yang bisa mengurangi beban lingkungan serta ketidakpastian masa depan ekonomi dari bahan bakar fosil.
Meskipun ada sedikit peningkatan dalam kapasitas energi terbarukan, bahan bakar fosil masih mendominasi produksi energi dan emisi karbon Thailand secara keseluruhan. Saat ini tercatat bahwa sektor energi adalah penyebab terbesar emisi CO2 domestik yang menyumbang sekitar tiga perempat dari total emisi Thailand.
Menurut Prasertsak, setelah kapasitas EBT bisa menggantikan kebutuhan listrik dari sumber-sumber pembangkit yang menggunakan bahan bakar fosil, maka EGAT berencana untuk menutup operasional tambang batu bara lignit di Thailand utara dalam waktu dekat agar Thailand dapat mengatasi perubahan iklim dan menurunkan emisi karbonnya serta memenuhi target netralitas karbon pada 2065. CNA/I-1